zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Wu Ji Bi Fan

Apakah kalian pernah berambisi terhadap sesuatu, kemudian setelah mendapatkannya semua terasa biasa saja?

Saya hampir yakin sebagian orang pernah merasakan hal tersebut. Saya pun demikian. Tak perlu jauh-jauh, sebagai contoh kecil, sejak remaja SMP saya sudah gemar membaca dan menonton. Apapun saya lahap. Mulai dari novel sampai artikel berita. Mulai dari film sampai serial televisi.

Satu waktu, saya pernah membuat tantangan untuk menantang diri saya dapat membaca dan menonton dalam setahun. Alhasil, jumlahnya cukup fantastis jika ingin disebut pencapaian. Ambisi itu tentu saja tidak lahir begitu saja. Ingin terlihat edgy  dan banyak tahu, melahirkan kecenderungan untuk melahap semua referensi pop kultur. 

Pencapaian itu tentu tidak ada habisnya, tapi saya keburu jenuh. Setelah melihat kebelakang, saya berpikir bahwa buku, film, ataupun serial yang saya tonton kemarin ternyata saya nikmati hanya sebatas lewat untuk memenuhi tuntutan ego dan sosial. Sederhananya, saya tidak begitu menikmatinya. 

Belakangan, saya kembali merasakan hal serupa. Sebagai angkatan 2018, semua teman-teman saling berlomba untuk sarjana saat ini. Alasannya tentu macam-macam. Ada yang panas melihat teman yang lebih gercep,  ada juga yang memang mengejar agar tidak lagi membayar SPP ataupun kuota beasiswa yang hampir habis. 

Belum lagi SPP pasca-pandemi sekarang sudah mulai normal. Bukan naik ya ges yak, tapi kembali ke nominal awal. Makanya, saya agak bingung dengan teman-teman yang mengeluh pasal UKT, yang menurut hemat saya, nominalnya tidak naik. Beruntunglah untuk mahasiswa akhir yang jumlah sks-nya aman, bisa mencentang TA (Tugas Akhir), agar UKT-nya diberi diskon.

Tidak ada yang salah dengan semua alasan itu. Semua orang punya tanggung jawab dan tujuan. Mungkin ada yang ingin cepat selesai agar bisa bergegas ke Morowali, atau ada yang menunda sarjana dengan alasan ingin menikmati masa-masa perkuliahan. Tapi perlu dicatat, untuk angkatan 2018 ke atas, minimal kuliah sudah dipangkas lagi menjadi lima tahun. Kemungkinannya hanya tiga: kompensasi jurusan dengan titel lulus kasihan, DO (tapi jurusan mesti berpikir ulang dengan alasan akreditas), atau yang sedang hangat diperbincangkan mahasiswa akhir adalah dengan mengganti stambuk baru. 

Kembali ke topik.

Awal-awal, saya tak panas  dengan itu semua. Sabodo teuing. Tidak ada atensi untuk iri ataupun dengki. Malahan saya turut berbahagia dengan menghadiri setiap undangan ujian teman-teman. Mulai dari caption 1/3 sampai 'semprotulation', semua sudah jadi template story teman-teman diangkatan saya. Awalnya terasa menyenangkan, tapi makin ke sini semuanya terasa biasa saja dan terkesan turut meramaikan hari bahagia mereka.

Tapi semakin menghadiri undangan ujian, beberapa orang kerap mulai bertanya. Pertanyaan repetitif hanya untuk sekadar basa-basi. Saya menjawab seadanya, seperlunya.

Toh, sayapun juga sedang mengerjakan. Meski tak secepat teman-teman yang lain, tapi saya terus mengerjakan meski pada awalnya memang saya kelewat malas. Bulan lalu, saya menemani pacar saya ujian proposal. Saya merasa bangga dan senang untuk kemudian mengunggah foto berdua ke WhatsApp Story. Dalam daftar nama yang melihat story, Nyonya Besar a.k.a Mama telah melihat 12 menit yang lalu. Tentu saja pertanda buruk.

Saat di rumah, mama yang sudah kerap kali bertanya, kembali menanyakan hal serupa. Saya kembali menjawab seadanya, sejujurnya. Mencoba memberi pengertian agar tidak terlalu sering bertanya. Saya tidak benar-benar mengabaikan tanggung jawab yang sudah diamanahkan beliau, namun saya juga butuh waktu untuk menikmati semua proses yang sedang saya kerjakan.

Saya tak mau terlalu menekan diri dengan kapasitas otak yang pas-pasan. Demikian pula tak ingin berleha-leha karena menjadi sarjana adalah kebanggaan tersendiri untuk setiap orangtua. Saya menikmati segala proses tersebut. Mulai dari mencari jurnal sampai menyusun kata demi kata agar terhindar dari sistem turnitin yang cukup menyebalkan ini. 

Jauh sebelum saya mengenal cara hidup yang sedang rame belakakangan-stoicism, saya lebih dulu learning by doing dari buku, film, dan lingkungan. Sebagai remaja yang mengadopsi pepatah Cina dari film The Karate Kid, semakin kesini saya mulai menurunkan ego dan ambisi. "Wu ji bi fan", kata Mei Ying kepada Dre Parker, yang jika diartikan kurang lebih adalah "sesuatu yang berlebihan tidak baik", Rasulullah juga berkata demikian. Koreksi jika saya salah.

Wu Ji Bi Fan
Wu ji bi fan membuat saya melakukan hal-hal yang hanya saya sukai, lebih mawas diri untuk mengontrol ego dan emosi agar tidak berlebihan. Jika merasa senang, tak perlu terlalu senang. Jika merasa sedih, tak perlu terlalu sedih. Perasaan-perasaan itu hanyalah bukti bahwa hati saya berfungsi dengan baik.

Sama seperti Dre Parker, saya mempunyai support system dalam proses penyusunan tugas akhir saya. Ia adalah pacar saya. Beruntungnya, saya mempunyai seorang pacar yang cukup pengertian. Ia memberikan segala aspek dukungan moral sampai waktu untuk mendorong saya menyelesaikan tetek bengek proposal saya. Saya juga melakukan hal serupa. Saya tidak ingin mengatakan ini sebuah privilese orang yang berpacaran, tapi saya benar-benar merasakan kebahagiaan dari segala proses yang sedang saya nikmati.

Kami mencoba saling mendorong, dengan segala komitmen dan target yang coba kita raih sama-sama. Tentu saya bukan orang yang menaruh target setinggi langit. Saya menargetkan pada hal-hal yang ada didepan mata. Jika yang sedang saya kerjakan adalah rancangan penelitian, target saya adalah proposal secepat mungkin, bukan sarjana secepat mungkin.

Apakah ini terdengar seperti pembelaan? Mudah-mudahan tidak begitu. Saya hanya sedang menikmati apa yang sedang saya kerjakan. Sampai pada masa yang akan datang saat saya kembali melihat dan mengingat hari ini, saya tidak merasakan kekosongan pada proses yang telah saya kerjakan.

Related Posts

Post a Comment