zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Malam Jahanam

Seperti yang sudah saya katakan, saya adalah orang yang lebih senang di belakang panggung. Di belakang panggung, saya merasa bisa mengontrol semua tanpa perlu merasa di kontrol (baca: diperhatikan). Saya senang dengan dinamika di belakang panggung. Selagi tak nampak di mata penonton, itu bukanlah kesalahan. Tapi saat ini, saya menjadi orang yang berada di depan panggung, menjadi penampil.

Persiapan

Bulan Desember adalah bulan yang benar-benar padat. Setelah memutuskan untuk kembali dalam kelompok, saya memulainya dengan bekerja semaksimal mungkin. Naskah saya baca kembali agar saat latihan kami mulai mengatur posisi blocking tiap pemain, tiap adegan.

Sebenarnya, saya adalah orang yang kurang suka diatur. Hal-hal seperti latihan macam ini benar-benar bukan saya. Jika saya tak memikirkan nilai kelompok, nilai teman-teman yang lain, saya akan kekeuh untuk keluar selagi itu masih menyangkut nilai saya pribadi. Saya tak perlu khawatir, toh, saya bisa program ulang bersama angkatan 019.

Memang hal itu akan membuat saya agak lebih lama di kampus, setidaknya saya tak perlu mengorbankan waktu saya untuk hal yang tidak saya senangi. Mengorbankan energi untuk hal yang tidak perlu.

Tapi beginilah, kami terus bertemu hampir setiap hari untuk melakukan latihan. Baik itu siang, sore, ataupun malam. Kami menggunakan gedung teater, ruang kelas, sampai perpustakaan untuk latihan. Tak jarang kami latihan di samping gedung teater hanya untuk memantapkan dialog.

Dalam setiap sesi latihan, kru dari divisi properti dan kostum sesekali datang. Sekadar untuk berpartisipasi atau mencatat hal-hal yang dibutuhkan saat pentas nanti. Terkhusus untuk kostum, saya sendiri tak terlalu ambil pusing. Mau didandani seperti apa, diberi kostum dan pakaian seperti apa, tidak masalah. Saya hanya akan memaksimalkan apa yang menjadi tugas utama saya.

Setelah tahun baru, kami semakin gencar untuk latihan. Beberapa kali kami harus berebut jadwal latihan di Gedung Teater demi memaksimalkan blocking. Karena cukup panjang, kadang kami tak ingat blocking yang sudah kami sepakati. Alhasil, blocking selalu berubah setiap saat. Kadang ada adegan saya berbicara sambil duduk, namun dilain kesempatan saya berbicara sambil berdiri.

Satu hari sebelum pentas, kami melaksanakan gladi bersama dosen yang bertanggung jawab dengan mata kuliah tersebut. Dari urutan penampilan, seharusnya kami menjadi penampil terakhir. Namun karena pemain dari Perempuan dalam Kereta belum datang, kami dipaksa menjadi penampil pertama dalam gladi. 

Ada banyak kendala, tentunya. Salah satunya Ferdian yang lupa membawa pakaian. Selagi menunggu Ferdian, kami sudah mulai bersiap-siap. Karena belum siap dan pemain Perempuan dalam Kereta sudah lengkap, akhirnya gladi berjalan sesuai urutan penampilan.  

Malam terakhir sebelum pentas, itulah saat kami benar-benar mendapatkan arahan blocking yang paten dari Kak Com-Com, orang yang bertanggung jawab atas lighting dan sound saat pementasan nanti. Karena kebetulan punya pengalaman seni dan teater, kami mendapatkan arahan yang cukup efesien dalam semalam. Kami benar-benar dipaksa untuk mengingat blocking yang benar-benar hampir dirombak ulang itu.

Pementasan

Tibalah hari pementasan. Pementasan berlangsung dua malam. Malam pertama diisi oleh Perempuan dalam Kereta dan Nyonya-Nyonya, malam kedua diisi oleh Malam Jahanam. Karena tampil pada malam kedua, saya tak perlu terlalu awal untuk datang. Saya datang saat pementasan pertama sedang berlangsung.

Saya datang bersama seorang perempuan yang saya panggil Na-Bi. Kami duduk di sisi kiri panggung. Kami menikmati pertunjukkan sembari ngobrol ringan disela-sela pertunjukkan. Di sana, teman-teman KKN juga datang untuk menonton penampilan Atma, Siska, dan Isma. Sampai acara berakhir, kami menutupnya dengan sesi foto bersama.

Di tengah hiruk pikuk kemeriahan malam pertama, saya melihat beberapa pemain merasa cemas. Hal itu sepertinya dipicu oleh solidnya penampilan malam ini. Seharusnya saya juga merasakan hal yang sama. Kok kenapa tidak? Saya bertanya-tanya. Kami sepakat untuk melakukan latihan terakhir esok siang, sembari anak-anak angkatan 2021 menyiapkan properti dan set panggung.

Setelah melakukan latihan, saya pulang diantar seorang maba. Namanya Wayan, saya tahu dia karena cukup aktif dan terbuka. Saya diantar karena kunci motor saya terbawa oleh seorang teman. Kalau bukan karena harus mengambil burung, saya tentu tak harus pulang. Burung yang dipelihara Tante, akan dijadikan salah satu properti untuk Mat Kontan, sebagai orang yang menyenangi burung.

Saya sampai di Kampus sebelum Maghrib. Kemudian menjemput Na-Bi, karena dalam waktu dekat saya sudah tak bisa ke mana-mana. Jelas saja, setelah menjemputnya, saya langsung ke belakang panggung untuk bersiap-siap. Memakai pakaian dan didandani oleh kru dari divisi kostum dan properti.

Di belakang panggung, tentu saja ada berbagai macam perasaan. Saya mencoba mengontrolnya sebaik mungkin. Bersama Ferdian dan Ariska, kami melatih dialog kami yang cukup krusial. Setelah terdengar host membuka acara, kami tahu semua akan dimulai. Kami bersiap-siap, dan suara gemuruh penonton membawa kami pada berbagai macam perasaan yang sukar didefinisikan.

Bersama Danil, kami berada pada sisi kanan panggung. Ketika satu persatu nama pemain disebutkan, saya cukup terkejut nama saya disoraki oleh cukup banyak penonton. Saya bertanya-tanya, siapa saja yang berteriak sekencang itu. Bak Rocky sebelum naik ke ring tinju, saya melakukan sedikit pemanasan dan peregangan sebelum ke masuk ke rumah Soleman. 

Itulah malam yang begitu menyenangkan ketika saya menikmati segala hal yang terjadi di panggung. Saya masuk dengan musik backsound dan gemuruh penonton. Mengucapkan dialog yang sudah entah berapa kali saya ucapkan, tapi malam itu rasanya berbeda. Saya merasakan getaran yang mengalir didalam dada, ketika mendengar samar-samar respon penonton.

Tentu ini bukanlah penampilan sempurna. Saya melakukan kesalahan pada dialog dan ada satu peristiwa ketika rokok yang saya selipkan ditelinga masih menyala. Untungnya, saya tidak panik dan bisa mengakali peristiwa itu di atas panggung.

Setelah pementasan selesai dan lampu menyala, saya kemudian melihat orang-orang yang duduk di sana. Ternyata hampir sebagian diisi oleh kawan-kawan saya. Pantas saja, ada dukungan dan sorakan yang cukup gemuruh. Kami melakukan penghormatan di atas panggung dan menepi untuk memberi waktu Ketua Prodi memberikan sepatah dua kata. 

Ariska datang, berlinang air mata. Saya tahu, itu adalah air mata yang tulus. Adegan kami berdua di panggung adalah adegan krusial yang cukup sulit untuk dieksekusi. Dalam latihan, kami kerapkali tertawa karena tak tahan menatap muka sesama. Namun malam itu, kami benar-benar melakukannya dengan lancar dan cukup baik. Meskipun ada improv sana-sini, kami rasa itulah yang terbaik yang bisa kami berikan.

Kami bukan orang panggung, bukan orang teater. Naik ke atas panggung untuk berlakon adalah keadaan terpaksa. Sayapun bisa saja memilih mundur kalau tak egois memikirkan nilai teman-teman yang lain. Tapi apa yang terjadi malam ini, itulah yang terbaik dari hasil kerja kami selama ini.

Saat teman-teman cemas karena penampilan yang solid kemarin, saya mencoba menenangkan mereka. Bahwa malam ini memang mereka keren, itu benar. Tapi besok adalah malam kita. Bermain sebaik mungkin, tanpa desakan harus lebih baik dari malam ini. Bermain seluwes dan tentu saja harus menikmati penampilan. Itu yang penting!

Saya memegang tangan Ariska, sambil berkata bahwa ini sudah selesai. Kami kembali naik untuk melakukan sesi foto bersama. Malam itu, jadi malam yang menyenangkan sebagai awal tahun 2022.


Related Posts

1 comment

  1. wahhh mas rahul ternyata lagi sibuk latihan teater ya. Perasaan deg-degan pas mau tampil pasti ada ya, aku lupa kapan terakhir kali ikutan teater, entahlah, mungkin hanya jadi penonton aja waktu itu
    Nggak disangka endingnya tetep keren dan berakhir lancar ya

    ReplyDelete
Terimakasih sudah membaca. Sila berkomentar terkait tulisan ini.