Saya itu nulis kalo lagi mau aja. Saya tak punya jadwal yang benar-benar
khusus untuk nulis. Hal yang saya lakukan biasanya hanya mencatat ide yang
tiba-tiba terlintas, atau menimbunnya ke dalam draf untuk nantinya diedit
kembali.
Bicara soal draf, saya ingat betul kata Hemingway:" first draft of anything is a shit". Maka dari itu, meski standar blog ini tidak seketat situs lain, saya selalu awas untuk mengecek kembali tulisan sebelum dipublish. Tidak seperti jaman-jaman awal ngeblog: duduk-nulis-publish.
Sebagai orang yang tak punya jadwal nulis, hal yang saya lakukan adalah menimbun draf sebanyak mungkin. Jika sedang rajin-rajinnya nulis, saya kadang menyelesaikan beberapa draf mentahan dari catatan yang sudah saya tulis di memo. Lalu meninggalkan draf tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya dibaca kembali, dipertimbangkan, diedit dan diterbitkan.
Jujur, saya tak punya standar yang bagaimana-bagaimana. Saya hanya meletakkan standar itu pada selera saya pribadi. Jika tulisan itu banyak menyinggung, saya pertimbangkan. Jika tulisan itu terlalu personal, saya pertimbangkan. Jika tulisan itu tidak bikin saya gatal untuk ngedit, saya pertimbangkan. Semuanya tergantung saya.
Sekarang, draf saya ada 70-an lebih. Dihitung dari tulisan lama yang diarsipkan sampai tulisan baru yang belum diedit. Ada 30 tulisan dari cerita masa KKN yang saya rasa belum siap untuk diedit dan masih dalam pertimbangan. Standarnya tentu saja salah tiga yang saya sebut diatas.
Jika lagi malas nulis, saya biasanya mengorek draf-draf itu untuk diedit. Kemudian ada beberapa draf yang akhirnya terbit seperti dua tulisan baru kemarin: Prinsip Summer dan Standar Blogwalking. Dua tulisan itu adalah draf lama yang akhirnya terbit. Ketika mau aktif nulis kembali tapi bingung mulainya, mengedit draf lama jadi solusi.
Kemudian gairah nulis pelan-pelan kembali dan bikin saya berada dalam kepuasan pribadi. Seperti halnya musik, draf kerapkali menyelamatkan saya dari emosi-emosi yang tidak bisa saya definisikan. Saya membaca tulisan-tulisan lama dan merasa itu adalah bagian dari diri saya dimasa lalu. Meski kadang tak ada niat mengedit, membaca tulisan-tulisan itu bikin saya ingin nimbun lebih banyak sampah.
Tak ada yang lebih baik ketika membuka Microsoft Word dan melihat halaman kosong itu seakan-akan menggodamu. Kemudian gairah nulis disokong oleh imajinasi dan referensi terbaru. Awal tahun 2020, saat bingung mau nulis apa, saya iseng nulis surat-suratan. Ceritanya dari Minke, untuk Annelies. Itu waktu saya sudah baca bukunya, dan baru nonton filmnya.
Coba lihat anak-anak Buitenzorg itu, Ann. Berbahagialah mereka semua. Punya kekuatan untuk berlari, punya waktu untuk bermain. Waktu dan kekuatan adalah hal yang sudah tidak kita punya lagi. Sewaktu dulu, saat kita masih kuat dan banyak waktu, apa yang kita perbuat, Ann? Main kelereng di tanah yang masih basah dan becek. Aku masih bisa mencium aroma itu, aroma tanah, atau mungkin cacing, atau mungkin daun kering yang sudah menyatu. Lalu, gemerik air yang tertahan didaun jatuh mengenai lenganku. Tepat sebelum aku melepas tembakan kelereng itu. Lihatlah ini semua, Ann. Aku ingin engkau melihat betapa inginnya diri ini berada di lima puluh tahun yang lalu, atau mungkin menjadi anak-anak jika tak tahu malu mengucapkannya. Ini semua tentang rindu, tentang penyesalan, Ann. Tapi, aku juga bersyukur untuk satu hal. Kau pernah mau. Aku benar-benar tidak peduli dengan anggapan Ayahmu. Aku tahu, Ibumu juga pasti mendukungmu denganku, dan itu tentu saja memberiku semangat. Aku tidak bisa katakan bahwa aku kecewa. Sebab aku takut membuatmu demikian, atau bahkan lebih buruk dari yang kuduga. Sebenarnya, aku hanya ingin, sebelum engkau, benar-benar pergi, hadiah terakhir yang belum sempat kuberi engkau terima. Tapi tidak masalah, karena engkau sudah tahu pasti. Tersenyumlah, Ann. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk tahu, tapi semoga demikian. Aku ada selalu untukmu, Ann. Percayalah.
Waktu nulis itu, saya membayangkan diri saya adalah Minke. Dengan kamar yang minim suara, saya menulis itu dengan mengembangkan masa lalu Minke dengan pengalaman empiris yang saya punya. Tidak bermaksud mengubah yang sudah ada, tapi semacam surat cinta saya kepada Seri Tetralogi Buru.
Aku nggak punya draft sama sekali, langsung publish saja biasanya. Mungkin perlu belajar bikin draft, terima kasih idenya, mas Rahul.
ReplyDeleteSetiap orang punya caranya masing-masing, Mas Arian. Mungkin mas lebih senang dan nyaman dengan cara seperti itu juga tidak masalah
DeleteIya fleksibel saja. Btw aku bukan cowok hahaha
DeleteSama banget Hul, beberapa bulan terakhir ini juga saya banyak banget nimbun draft, kebanyakan karena yang ditulis terasa terlalu personal jadi maju mundur buat dipublish😅 Makanya udah lama ini blog saya sepi, karena terlalu banyak draft yang harus melewati pertimbangan matang. Nggak seperti dulu awal-awal ngeblog, atau sebelum terkoneksi sama pembaca dan teman-teman lain, saya sendiri merasa jadi harus berhati-hati untuk menulis sesuatu—which is good🤔. Cuma ujungnya jadi ngerepotin diri sendiri juga kalau kehati-hatian yang berlebihan menghalangi produktivitas, hiks.
ReplyDeleteKalau mengacu pada produktivitas nulis, saya rasa hal seperti ini tidak akan menghambat. Hanya produktivitas publish memang yang jadi masalah. Kalo Aina merasa terlalu personal, coba tarik atau ganti saja sampel yang sering kamu pake untuk menjelaskan maksud tulisanmu. Saya liat, hal yang terlalu personal dari tulisanmu biasanya dari contoh yang kamu pake
DeleteGilsss 70 draft, kalau aku udah gatel banget itu pingin cepet-cepet dischedule publish biar draftnya kosong hahahaha. Aku rencana pingin nulis tentang scheduled post, mas Rahul. Tapi tahun depan aja terbitnya (tahun depan means dua mingguan lagi😂).
ReplyDeleteIya, itu 70-an draft kak Endah. Paling, bersihnya cuma ada 40-50an. Sisanya arsipan, sama tulisan yang memang ngawur. Ha ha ha.
DeleteKalau tulisannya sudah publish, akan segera saya baca
Saya sering juga nulis draf di memo, cuma ya draf aja. Kadang nggak berakhir jadi tulisan untuk dipublish. Karena kebanyakan draf emang cuma topik besar, atau kayak ide-ide yang ada di pikiran. Jadi, ketika saya buka drafnya yaaa yaudah nggak ada apa-apa selain ide mentah.
ReplyDeleteSekarang saya lagi nggak punya draf, makanya blog sempat kosong dalam waktu lama dan nulis semaunya aja. Padahal pengen bisa konsisten minimal nulis seminggu sekali atau dua kali. Hahaha
Banyak draf yang saya tulis pada 2017-2019 bisa menyelamatkan saya dari kemalasan tahun ini buat tetap mengisi blog. Bahkan beberapa terjemahan yang niatnya buat pribadi malah saya taruh blog. Senang, sih, jika ada yang sampai komentar dan tertarik sama penulis itu. Tapi kadang hal ini bikin saya semakin yakin kalau tulisan atau cerita saya kurang penting buat dibagikan. Lebih enak meminjam cerita orang lain aja. Andai menerjemahkan itu mulai terasa mudah (terkadang ketika udah dibantu Google Translate aja masih suka bikin stres waktu menyunting), mungkin saya bakal benar-benar mengisi blog cukup dengan tulisan terjemahan.
ReplyDeletePantes tiba-tiba bahas blogwalking, Hul, ternyata itu draf lawas. Seingat saya tulisan Pak Anton memang udah cukup lama. Saya kira idemu buat menyampaikan standarmu sendiri dari situ.