Formasinya adalah 3 motor dan 1 mobil. Saya bawa motor sendiri, Ari juga tanpa goncengan, dan Riki bersama Rendy. Sedangkan Kak Rijal bersama Ibu Riki menaiki mobil. Sebenarnya, rencana awal adalah kami bergabung dalam satu mobil saja. Namun, setelah dilihat-lihat, kami berempat tidak akan muat dalam dua jok kursi belakang.
Kami meninggalkan rumah jam 6 lewat, sebelum matahari benar-benar naik. Masih terasa dinginnya menembus jaket kemudian kulit dan pori-pori. Karena membawa motor dengan cukup kencang, pet helm saya yang agak kendor terus berbunyi disepanjang jalan.
Untuk formasi jalannya, sudah saya pikir sejak menyalakan motor. Itu adalah saya harus berada, setidaknya dibelakang motor Riki. Sementara Ari, bebas mau didepan atau belakang. Ia memilih depan dengan memacu motornya. Kami hanya mengikuti, terutama saya yang terus mengekor dibelakang motor Riki. Perjalanan baru terasa saat benar-benar melewati gerbang perbatasan kota Kendari.
Perjalanan dari Kendari ke Kolaka Timur bisa dibilang cukup jauh. Jika mengacu pada google maps, jaraknya kira-kira 124 KM. Jika dihitung pulang-pergi, maka kurang lebih kami akan melakukan perjalanan sekitar 248 KM. Sebagai perbandingan, jarak rumah dan kampus adalah 24 KM pulang-pergi, artinya kami akan melakukan perjalanan kurang lebih seperti pulang-pergi kampus sebanyak 10 kali. Tapi, terlihat cukup bodoh jika melakukan pulang-pergi kampus sebanyak 10 kali.
Karena menggunakan motor, salah satu kelebihan adalah bisa lebih cepat dibandingkan dengan mobil. Setidaknya, kami bisa menyalip jika keadaan memungkinkan. Membawa dengan kecepatan normal adalah hal yang saya coba lakukan. Namun, saya juga harus mengikuti cepat-lambat Riki dan Ari, yang dimana mereka cukup gesit menyalip beberapa mobil. Kendalanya adalah, beberapa lubang pada aspal kadang tidak bisa diantisipasi dengan sekejap. Beberapa kali saya menginjak lubang yang cukup dalam.
Kami sampai di daerah Unaaha kurang lebih 1 jam. Kemudian terus bergerak untuk menemukan kabut yang cukup tebal pada beberapa daerah yang memang memiliki dataran yang tinggi. Jika diilustrasikan, kabut tebal itu bisa membuat jarak 10 meter antar motor tak lagi terlihat. Untungnya, Riki menjalankan lampu hazard untuk mempermudah saya menganalisa keberadaannya. Karena embun yang tebal, kacamata saya jadi basah dan kabur.
Dari aspal bagus kita beralih ke aspal yang mulai rusak. Ada beberapa yang cukup berlubang, dan menimbulkan getaran. Ada juga yang memang rusak sehingga kadang membuat stir motor kadang berbelok sendiri. Kami sampai di POM Bensin sebelum memasuki kecamatan Ladongi. Setelah mengisi di jalan, Ari mengisi untuk yang kedua kalinya. Begitupun saya yang kemarin sudah mengisi.
Kami istirahat sebentar sambil menunggu mobil yang dibawa kak Rijal lewat sambil mengisi perut dengan roti yang sudah kami bawa dari rumah. Mobil belum terlihat namun kami memilih untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu. Saya singgah sebentar untuk menambal ban belakang. Saya curiga, ini akibat beberapa kali terbentur oleh lubang di jalan.
Jalan memasuki daerah kecamatan Ladongi yang mulai tak beraspal, rusak, dan becek akibat hujan kemarin. Perjalanan yang sebenaranya bisa ditempuh beberapa menit saja, jadi lama karena harus fokus dua kali lebih waspada dari jalan beraspal. Ketika sampai di rumah, terdapat tenda biru yang sudah terpasang. Hanya ada beberapa orang. Katanya, kita harus lanjut lagi ke lapangan karena upacara ngaben dilaksanakan di sana.
Perjalanan dari rumah ke lapangan kira-kira 2 KM dengan jalan yang lagi-lagi tak beraspal, rusak, dan becek. Sudah ada mobil ketika kami memasuki area tempat upacara, di depan kami dipandu oleh salah-satu keluarga. Kami memarkirkan motor, kemudian saling melihat. Sudah banyak orang yang hadir, beberapa ada yang duduk di pinggir kami ketahui adalah tetangga yang beragama Hindu.
Ada beberapa yang di dekat jenazah, yang kami tahu adalah keluarga. Kami berjalan mendekati jenazah untuk melihat ritual yang mereka jalani. Setelah proses ritual ngaben akan dimulai, kami bergeser ke pinggir bersama yang lain.
Ngaben dilakukan selama hampir 3 jam. Dari ujung tempat kami parkir, Ali datang seorang diri dari Kolaka. Ia di sana menjaga dan merawat neneknya. Kebetulan, jarak dari Kolaka ke Ladongi cukup dekat. Setelah proses pengumpulan sisa tulang, kami diperbolehkan untuk mengambil dan memindahkan sisa tulang ke satu wadah.
Ritual berikutnya, kami hanya melihat dan menghormati mereka untuk tetap diam dan tak menimbulkan suara berisik. Kami menuju bendungan untuk melihat proses ritual berikutnya. Kemudian pulang untuk beristirahat di rumah milik keluarga di sana.
Belum selesai, ternyata ada upacara potong gigi yang akan dilakukan setelahnya. Kata Adi, orang di sana, upacara itu laksanakan biar sekalian dengan upacara ngaben. Ada 4 orang yang melakukan upacara potong gigi, dua perempuan dan dua laki-laki. Saya hanya tau ada Sudi, Riani, dan Ketut.
Setelah makan, kami istirahat sebentar. Upacara potong gigi ternyata memiliki ritual yang cukup panjang. Dengan kondisi hujan saja, mereka tetap melaksanakan ritual. Ada beberapa orang yang memayungi, ada beberapa yang memakai kantong plastik untuk tutup kepala. Terdengar suara bel yang dibunyikan sesekali. Hujan berhenti di sore hari untuk kami bersiap pulang. Sebelumnya, saya mencari kamar mandi untuk membilas badan.
Karena ada banyak beras, kami diperintahkan untuk membawa dua karung ke dalam mobil. Itu adalah adat yang mereka jalankan, bahwa setiap orang, minimal membawa 2kg beras, jika tak salah saya dengar. Koreksi jika saya salah. Kami pamit setelahnya, menyalakan motor dan jalan lebih dulu.
Di ujung gerbang kecamatan, tempat kami tadi mengisi bensin, Ali mengisi bensin sambil saya, Riki, dan Rendy menunggu Ari dan mobil yang masih di belakang. Ari datang ketika Ali sudah selesai mengisi bensin. Kami berpisah dari sana, Ali ke kiri, sedangkan kami ke kanan. Kata Ali, ini semacam adegan Dom dan Brian dalam film Furious 7.
Cuaca saat itu kurang bersahabat. Langit mendung disertai suhu yang cukup dingin. Saya cukup maklum, sebab kami berada pada dataran yang lebih tinggi dari biasanya. Kami berhenti sejenak di sebuah Mesjid saat maghrib, kemudian melanjutkan perjalanan. Karena hujan turun dengan cukup deras, kami memutuskan untuk menepi di sebuah warung.
Hujan turun agak lama membuat kami memesan Pop Mie yang kebetulan disediakan air panas. Oh, lebih tepatnya mungkin yang punya warung sedang baik hati untuk berbagi air panas. Kami makan sambil menunggu hujan reda. Mobil kak Rijal sudah lewat sebelumnya. Setelah Pop Mie habis, secara kebetulan juga hujan mulai reda. Kami melanjutkan perjalanan.
Di Unaaha, kami sempat singgah untuk mengambil barang titipan. Lanjut lagi, tapi terjebak hujan lagi pada sebuah Indomaret. Ada seorang cewek yang juga berteduh, bersama beberapa pembeli di dalam Indomaret. Setelah dirasa reda, kami bergerak lagi. Singgah di tempat kak Rijal yang sedang ngaso untuk minum Thai Tea. Tidak lama, kami jalan lagi untuk ke Indomaret lagi. Bukan berteduh, tapi numpang kencing.
Dari situ, kami sudah tidak lagi berhenti. Meski gerimis, tetap kami sikat. Udara malam itu sangat dingin, jaket jeans yang saya gunakan basah dan mengenai kulit. Sehingga, angin malam itu terasa lebih dingin dari yang seharusnya. Formasi yang kami gunakan tetap sama. Ari berada di depan, Riki di tengah, dan saya di bagian belakang. Formasi ini saya gunakan setelah melihat sebuah foto kawanan serigala. Disana, ada beberapa penjelasan tentang formasi jalan mereka. Dan saya mencoba untuk mengaplikasikan itu.
![]() |
sumber: google |
Tiga serigala pertama yang berjalan paling depan adalah serigala tua dan sakit agar mengatur kecepatan. Lima serigala berikutnya adalah serigala kuat yang bertugas melindungi serigala lain. Serigala biasa berada pada bagian tengah. Lima serigala belakang adalah serigala kuat yang bertugas melindungi lini belakang. Sedangkan serigala yang paling belakang adalah ketua dari kawanan yang bertugas untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Saya tentu bisa saja memacu motor lebih cepat dari yang seharusnya. Apalagi, jalan mulai bagus setelah melewati Unaaha. Setelah mendapati gerbang selamat datang Kendari, saya merasa lega. Perjalanan lebih ringan meski pada sebuah lampu merah, secara refleks saya merenggangkan punggung yang mulai kaku.
Tinggal beberapa kilometer saja dari rumah, kami menurunkan kecepatan. Kendaraan mulai ramai meski sudah jam 9 malam. Semua baik-baik saja hingga pada pembelokan kedua terakhir. Riki menyalakan sein kanan, dan mulai mengambil posisi berbelok. Tiba-tiba, tanpa diduga, ada motor dari arah berlawanan yang tidak dilihat Riki. Kecelakaan terjadi. Saya buru-buru turun dari motor untuk mengangkat motor Riki dan menggesernya ke pinggir. Kemudian menggeser motor saya yang juga masih berada di jalan. Orang-orang mulai menggerubungi. Tidak parah sebenarnya, sebab kedua motor berjalan dengan cukup pelan. Saya bisa melihat dengan jelas tepat di depan saya mereka jatuh.
Awalnya, orang yang ditabrak Riki memiliki niat untuk menuntut. Namun oleh Satpam SMA saya, yang juga keluar saat itu, memberi tahu untuk tidak melepas orang tersebut karena kerusakan lebih parah dialami oleh motor Riki. Ada banyak faktor yang bisa menguatkan Riki bahwa motor orang tersebut tidak memiliki lampu. Penjelasan orang tersebut, lampunya memang agak konslet.
Kami menunggu kak Rijal dan Ibu Riki untuk menyelesaikan masalah. Ada banyak hal yang dibahas, terutama masalah personal yang tidak kami bawah ke ranah yang lebih rumit. Ibu Riki tidak marah, namun menasihati bahwa musibah memang bisa datang kapan saja. Ini seperti sebuah firasat saat hendak pergi bahwa saya memang harus berada di belakang mereka. Bahkan, ketika memasuki Kendari, saya tidak bisa melepas mereka untuk berada di belakang saya. Firasat saya terbukti.
Bahwa pada akhirnya, saya tidak bisa mengatakan siapa salah-siapa benar. Ada sebuah perasaan untuk tidak menghakimi orang lain terhadap kekuatan dan privilege yang kita miliki. Dalam hal ini, mungkin kita beruntung mempunyai motor dengan fitur yang masih lengkap dan baik dan kebetulan orang tersebut tidak. Saya tidak banyak bicara saat orang tersebut masih ada. Itu untuk melindungi bias saya, juga untuk tidak menuntut hal yang bukan hak saya. Saya tidak berada pada keadaan untuk tidak membela kawan, tapi ini semacam sebuah prinsip untuk tidak membuat orang lain berada pada satu kondisi untuk merasa dipojokkan. Apalagi saat itu, ia sendiri dikelilingi oleh banyak orang sepihak yang menuntut. Kemudian, obrolan malam itu ditutup oleh pertanyaan dari Ibu Riki,"Bagaimana perjalanannya? Senang?"
"Sebenarnya senang," kata Ari,"Tapi ini lagi.." sambil menunjuk motor Riki.
"Jangan pikirkan itu."
Tidak secara serentak, tapi kami menjawab dengan yakin dan pasti,"Senang."
Wah saya nggak kebayang harus melakukan perjalanan dengan motor sejauh itu. Tapi kalau berangkat bersama teman biasanya jadi pengalaman yang memorable ya. Untunglah Riki nggak apa-apa, saya bacanya udah deg-degan mengira ada hal lain yang terjadi 😅 dan ibu Riki bijak banget di kalimat akhirnya (:
ReplyDeleteSelain bareng teman, pemandangan sepanjang jalan juga bikin ngga bosan sih. Dari gunung ke pantai, gunung lagi, pedesaan, terus begitu. Sampai kadang-kadang saking menikmati perjalanan, tau-tau sudah nyampe tujuan.
Deletepergi menempuh perjalanan jauh dengan teman tentu saja ada perasaan senang, cuman kadang di tengah perjalanan kita nggak tau apa yang terjadi, yang pasti kita selalu berusaha untuk hati-hati
ReplyDeleteperjalanan mas rahul ini memakan waktu seharian, perjalanannya saja sudah sangat jauh.
seperti yang mbak jane bilang, ibu riki ini bijak, berusaha menguatkan hati riki dan mas rahul serta kawan kawan yang lain
Meski sudah hati-hati, kadang orang yang ngga hati-hati. Iya, makanya kami sangat menghormati beliau. Apa-apa, pasti minta lampu hijaunya ke beliau.
DeleteAku belum pernah naik motor dengan jarak sejauh itu :). Terjauh yg pernah aku coba Ama suami, palingan pas di Bali, naik motor dari Denpasar ke Uluwatu. Itu aja aku berasa lamaaaaa, padahal cm 30 km. Ga kebayang yg ini 248 km Pp :D.
ReplyDeleteTapi aku yakin kalo perginya bareng temen, pasti asik dan seru ya mas.
Urutan barisan para serigala, kagum juga mereka bisa seperti itu. Mengutamakan yg tua dan sakit di depan. Hewan aja punya insting utk melindungi kawanannya ya mas. Salut sih.
Eh, aku sbnrnya pengeeeen banget bisa liat upacara ngaben secara langsung . Pernah pas ke Bali yg trakhir, di dekat restoran yg kami tuju, ada serombongan orang lokal sdg ngadain upacara ngaben. Tp ga mungkin aku nyelusup utk ikutan liat, secara ga sopan , dan waktu itu udh ada acara lain ama kantor di restoran yg dituju. Pernah liat full acara, tp dari YouTube :D.
Sayang di akhir hari hrs ada tabrakan segala ya mas. Tp syukurlah kalo ga terlalu parah dan masing2 selamat :)
30 KM itu sudah terbilang jauh. Sebenarnya, saya juga kadang ngga tahan perjalanan jauh. Tapi karena touringnya ada fase, jadi sudah terlatih lebih dulu. Tidak langsung ke ratusan kilometer.
DeleteTidak mesti seperti itu, tapi untuk formasinya lebih ke saling melindungi saja. Ngerti aba-aba tanpa perlu ngomong panjang lebar sudah cukup.
Itu adalah pengalaman pertamaku liat upacara ngaben, selama hanya tau dari buku dan teve.
Iya, tidak ada yang luka parah. Cuma goresan yang untuk laki-laki mah biasa. Ha ha ha.
120an kilometer itu berarti kalau di sini kayak Bandung-Bogor atau Bandung-Ciamis, kalau momotoran juga suka ngitung km. Kalau momotoran sama ada mobil nyempil satu pernah juga pas Susur Pantai Selatan Jawa jilid II (dikasih nama biar kayak ekspedisi2an).
ReplyDeleteEmang formasi momotoran jangan sampai kejauhan atau tertinggal, apalagi malam takut ada begal. Hape harus aktif, pas istirahat di warung usahakan selalu cas hape, takut di jalan ada yg kecelakaan atau masalah mesin (biasanya ban bocor).
Pas momotoran seringnya saya jadi sweeper, serigala yg terakhir itu, meski senengnya ya yg di tengah itu soalnya ga ada beban tanggung jawab. Pernah nyobain di depan, di jalanan hutan pegunungan, saat itu kabut tebel banget, lampu sen nyorot ke pohon2 yg gelap itu takut banget kesorot yg gituan hehe nyali langsung ciut ga mau lagi2 deh.
Oh ya, kesalahan yg paling sering juga, biasanya kalau udah masuk daerah tempat tinggal kita, karena merasa aman kita jadi kurang awas. Padahal setelah momotoran jauh kita pastinya lelah, konsentrasi turun.
Iya, makanya yang didepan harus bisa ngatur tempo yang dibelakang harus bisa menyesuaikan. Sekalipun nanti terpisah, harusnya yang didepan bisa cepat sadar dan memperlambat tempo hingga yang dibelakang merapat kembali.
DeleteSalah satu syarat orang paling depan yah lampu harus nyala semua, mau lampu jauh dan dekat. Seenggaknya, motor kedua dibelakang bisa nyala lebih terang.
Kayaknya salah satu faktornya itu deh, terlalu merasa aman karena sudah berada daerah tempat tinggal.
Waduh 248km PP itu berapa jam ya mas kalau naik motor? Pegal banget pastinya. Naik mobil saja bisa 4 jam kalau normal :)) saya nggak pernah naik motor selama itu jadi nggak bisa bayangkan. Terlama untuk saya mungkin cuma 5-10 menit soalnya :""D
ReplyDeleteEniho, baca soal urutan serigala, saya akan pilih jadi yang biasa saja biar posisinya di tengah hahahahahaha. Saya nggak akan berani jadi yang paling depan atau belakang kalau lagi berjalan. Apalagi di tempat gelap, semisal gunung, meski nggak pernah mendaki, tapi membayangkannya pun takut mas hahahaha. Kalau di paling belakang takut ada yang menepuk pundak. While di paling depan takut melihat sesuatu duluan *bahasan jadi melebar kemana-mana* :))))
Saya penasaran upacara potong gigi itu giginya betulan dipotong, kah? Gigi apa yang dipotong mas dan pakai apa potongnya?
Kurang lebih 3 jam lah kak Eno. Tergantung kami balap atau tidaknya, banyak-sedikit singgahnya. Dan ini biasanya ditentukan oleh banyak faktor. Salah satunya cuaca. Kak Eno memangnya bisa bawa motor? Kalo bisa, mungkin bisa coba bawa ke destinasi yang agak jauh, yang biasa ditempuh dengan mobil, misalnya. Tapi gonceng orang lain, biar kalo capek bisa gantian.
DeleteHa ha ha. Memang, sebenarnya paling enak jadi yang ditengah. Tidak punya beban apa-apa. Tinggal ngikut aja. Biasanya, Ali, teman saya, yang menjadi orang yang ada dibelakang jika perjalanan jauh. Tapi waktu itu, ia sedang tinggal di Kolaka bersama neneknya. Saya mengemban tugas itu.
Saya awalnya juga penasaran, apakah benar dipotong atau hanya metafora. Ternyata cuma dikikir saja. Sampai gigi taring yang agak panjang, rata sama gigi yang lain. Kalau alatnya, saya tidak tau namanya. Tapi dari bentuk dan cara pakainya, mirip seperti kikir biasa