zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Filosofi Mie Ayam

Sudah hampir dua hari, saya terkulai lemah di kamar. Memang jarang terjadi, tapi hal ini merupakan fase yang kerap kali membuat saya hanya ingin berada di kamar, menikmati susu panas, rokok, dan film-film yang ingin saya tonton ulang.

Sebenarnya, saya tidak bisa mengatakan hal ini sebagai sebuah ajang mengistirahatkan diri. Hanya mungkin badan dan pikiran saya sudah meminta itu sejak lama, dan saya terlalu abai untuk menurutinya. Ia memaksa saya dengan perasaan tidak nyaman yang kemudian membuat saya tidak bisa aktif seperti biasanya.

Saya ingin sekali bercerita tentang banyak hal, terutama bagaimana kehidupan saya selama ini. Tapi saya takut hal itu menjadi riya, dan saya juga tidak punya cukup waktu untuk mengedit. Jadilah saya hanya menyimpan itu menjadi catatan-catatan tidak penting yang beberapa kali saya baca kembali.

Ohya, sekarang sudah tahun 2025. Saya hampir menginjak usia seperempat abad di bulan April, menikmati masa muda dan sedikit mengkhawatirkan hal-hal duniawi. Usia sekarang, kenapa terasa begitu serius dan melankolis. Saya melihat kawan-kawan lama juga terseret arus keseriusan itu dan menjadi tidak lagi banyak tertawa.

Semakin bertambah usia, tanggung jawab semakin memaksa manusia untuk menepi dan tidak lagi bermain arus. Bahkan untuk menceburkan kaki di air sungai kesenangan, rasanya seperti merasa bersalah. Apa yang membuat sistem di dunia jadi terasa seperti ini? Saya ingin mengembalikan masa-masa di mana saya dan kawan-kawan bebas meloncat dan melawan arus. Jika terseret arus, itu mungkin akan menjadi hal yang menyenangkan.

Kehidupan sulit yang melelahkan. Saya membayangkan bagaimana kawan-kawan yang dulu tak biasa mengurus urusan birokrasi kampus sendiri, harus menghadapi dunia yang kurang ramah ini. Mungkin hanya masalah perspektif, tapi ini terasa begitu nyata. Seperti berhadapan dengan cermin dua arah, dan sosok kecil dirimu menertawakanmu.

Saya kemudian berusaha meletakkan diri saya di masa lampau, melihat orang-orang dewasa kala itu. Mencoba berusaha memahami, bagaimana mereka bekerja dengan tertawa tapi mungkin sepulang dari kerja mulai menghitung pengeluaran sebelum uang gajiannya cair. Mulai dari cicilan motor, dana untuk disisihkan ke orang rumah, bahkan sampai utang ke teman dan keluarga juga mulai disisihkan. 

Sisanya? Itulah yang digunakan untuk bertahan hidup tiga puluh hari kedepan.

Orangtua-orangtua itu mungkin akan berkata: "kau akan berdamai seiring waktu". Yah, betul juga. Saat mencoba melihat ke belakang, terlalu naif jika memaksakan diri memahami semua hal terlalu dini. Ada hal-hal yang memang jika dijelaskan akan terasa "hah?" atau bisa dikatakan pemikiran kolot. Tapi seiring waktu, kita mulai menjadi orang tua yang kita sebut dengan pemikiran kolot itu.

Kalau terdengar kasar, saya ganti deh, orang tua dengan pemikiran konvensional. Kamu mungkin merasa hal itu terdengar kasar, tapi bayangkan 5-10 tahun yang lalu, dengan berapi-api kau menuntut segalanya tanpa merasa ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan. Hal-hal apa yang mesti dikorbankan. 

Segerombolan manusia yang dulu bisa nongkrong sampai adzan subuh, kemana mereka semua? Yah tentu berada dipinggir sungai, melihat adik-adik atau keponakan yang masih menikmati arus kesenangan itu. Jika terseret, mereka hanya akan berakhir dengan tawa. Jika mereka yang dipaksa berada ditepi arus mencoba bermain dan terseret, mereka bisa tenggelam bahkan meninggal.

Sekarang, kita sudah berada di fase itu. Sekalipun ingin menjadi orang yang bermain arus, sudah tidak lagi bisa seseru kemarin. Kawan-kawan yang kemarin melompat dengan gaya bebas, sudah tak berani mengambil resiko. Kita hanya mencoba senang dengan bermain arus bersama adik-adik yang coba kita akrabi. Dan tentu saja itu tidak sepenuhnya menyenangkan, itu bisa jadi menimbulkan perasaan kosong.

Saya merenungi hal itu, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Sampai saya melihat seorang perempuan di samping saya, sedang makan mie ayam dengan lahap sepulang dari kerja. Pakaian kerjanya ditutupi dengan jaket biru navy masih bisa terlihat jelas. Raut wajah perempuan itu terlihat senang merasakan mie ayam sepulang kerja. 

Saya bertanya,"Enak?". Perempuan itu mengangguk.

Saya kemudian menyadari, jangan-jangan kita bukan tidak lagi bisa bersenang-senang di arus kesenangan. Kita hanya perlu mencari arus yang lebih pelan, dan mencoba berendam di sana. Seperti halnya mie ayam, ada banyak cara menikmati arus. Seperti duduk dengan segelas kopi dan merokok, atau menikmati sore menuju malam. Saya pikir, semua orang punya cara masing-masing.

Perempuan itu keluar, saya membayar makanannya. Ia memperbaiki rambut sebelum mengenakan helm dan bersiap untuk saya antar pulang. Sebelum pulang ke rumah, saya berkata ingin singgah sebentar mencari uang rokok, ia mengiyakan. Sebelum saya sampai di rumah, ia sudah keburu mengucapkan selamat tidur karena besok harus masuk shift pagi.

Newest Older

Related Posts

1 comment

  1. Saya juga sering berpikir demikian. Tak terasa kini usia sudah makin bertambah. sekarang adalah masa dimana ngopi dan ngerokok paling nikmat adalah di rumah bukan di tongkrongan lagi. Kadang kepikiran juga pengen balik jadi anak-anak yang bisa bebas main dan gak mikirin duniawi. Tapi ya mau gimana lagi, hidup harus terus berjalan.

    ReplyDelete
Terimakasih sudah membaca. Sila berkomentar terkait tulisan ini.