zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Mengindahkan Prinsip Melabeli Hubungan Summer dalam Film (500) Days of Summer

Dalam film (500) Days of Summer, peran Summer yang dimainkan Zoeey Deschanel pernah berkata pada Tom Hansen bahwa ia tidak suka melabeli sebuah hubungan. Baginya, kalau kebersamaan sudah bisa membuat dua orang sama-sama bahagia, untuk apa lagi validasi. Sejak nonton itu, saya cenderung setuju dengan prinsip Summer. 

Mengindahkan Prinsip Melabeli Hubungan Summer dalam Film (500) Days of Summer
Masa awal kuliah, saya kerap digosipkan jalan dengan seorang teman perempuan karena sering mengantar-jemputnya. Padahal saat itu, saya hanya sekadar berniat baik sebagai seorang teman. Selain itu, kami memang sering terlihat bersama, jalan bersama, bahkan ke satu acara yang sama. Teman-teman mengira, kami sudah sempat jadian.

Bagi saya saat itu, hubungan pacaran terlalu mengekang saya sebagai seorang remaja. Transisi dari SMA ke Kuliah, bikin saya banyak berkaca pada teman-teman saya yang mengikhlaskan waktu dan dirinya untuk pacar. Maka dari itu, saya menjabarkan alasan betapa make sense-nya prinsip Summer dalam sebuah hubungan.

1. Tidak Ada Kekangan

Percayalah, betapa menyebalkan jika mendapati dirimu mulai diatur-atur. Saya tak ingin mendiskreditkan semua perempuan, tapi hampir semua teman yang mempunyai hubungan selalu berada disituasi yang terkekang. Entah dia sadar atau tidak, tapi sebagai orang yang mengamati, saya tahu itu.

Paling baru, seorang teman terlihat kesal saat kita berencana untuk rental PS. Katanya, itu pacarnya yang tiap waktu mesti WhatsApp-an. Saya hanya tersenyum, membayangkan diri saya berada dalam situasi yang merepotkan itu. Bagi saya, setiap orang mesti punya kesibukan masing-masing. Hubungan-pun, tidak melulu soal bertanya sedang apa dan dimana. Tapi soal memberi jarak untuk tahu batas masing-masing, tahu teritorial dan tahu bahwa setiap individu punya dunia selain pacaran. Mereka punya keluarga, punya teman, bahkan punya hobi dan ego yang mesti diberi makan.

Setelah ini, saya rasa orang-orang yang mempunyai hubungan akan menghardik saya dengan argumen: "kalau memang tidak mau diatur yah jangan menjalin hubungan.". Yoh wes, saya juga tidak menekankan bahwa pacaran adalah segalanya, bahwa pacaran adalah privilese yang didapatkan setiap orang yang berpacaran.

Saya malah ingin menawarkan solusi alternatif dari prinsip Summer. Hubungan yang didasari tanpa label atau validasi memang terkesan mengawang-awang. Seperti kata Rizal Armada,"mau dibawa ke mana, hubungan kita?". Tapi kalau kita lihat sisi baiknya (hubungan tanpa label), kita bisa lebih bebas karena ada semacam pemikiran bahwa tidak mesti memberi informasi titik koordinat kita pada pasangan, tidak mesti lapor atau mengingatkan 3x sehari untuk makan.

Akan jauh lebih menyenangkan bukan? Kita bisa pulang pukul 1 pagi tanpa perlu merasa ada kewajiban sleepcall. Saya tau, solusi ini terkesan tidak asing dengan istilah yang akrab kita kenal dengan hubungan tanpa status. Solusi yang terkesan menguntungkan pihak laki-laki karena sejatinya perempuan butuh kepastian. Yah, terserah, pilihan masing-masing juga.

Setiap dekat dengan perempuan, sayapun kerapkali berkata didepan bahwa saya bukan orang yang senang dengan label dan validasi. Tapi kalau kau mau itu, akan saya berikan. Lagipula, hubungan bukan hanya soal komitmen, tapi juga negosiasi. Memilih untuk pacaran, adalah memilih untuk bernegosiasi dengan prioritas.

Tidak semua, tapi hampir sebagian pacar teman saya cukup mendapatkan prioritas lebih saat pacaran. Tak heran, ada teman yang jarang main ke tongkrongan lagi saat sudah pacaran. Saya pernah berada di posisi itu, dan merasa tak nyaman meninggalkan kawan-kawan saya. Jalan tengah yang saya ambil, mengenalkan perempuan itu kepada dunia yang saya miliki. Satu persatu, perlahan-lahan.

2. Label adalah Jeruji Besi

Satu kali, saya pernah menonton video Pandji Pragiwaksono tentang kenapa mereka (dia dan Istrinya) tidak lagi merayakan hari pernikahan. Kata Gamila, Istri Pandji, cukup mencengangkan,"kenapa mesti dihitung-hitung, kayak di penjara saja.".

Itu analogi yang sangat brilian bagi saya. Sama halnya merayakan ulang tahun untuk diri sendiri, merayakan anniversary bagi saya itu hal yang aneh dan membingungkan. Untuk apa menghitung sesuatu yang sama-sama kita nikmati? Seakan-akan kita takut akan ada masa kadaluwarsanya.

Happy anniversary biasanya dimulai dari awal pertama jadian. Nah, kaitannya dengan label adalah saat pertama kali jadian, mau tidak mau kita dipaksa mengingat bukan hanya hari valentine dan tanggal lahir beliau, tapi juga tanggal anniversary. Kado, bunga, ataupun balon dengan sisipan tulisan happy anniv dan tanggal jadian adalah starter pack yang tak pernah absen.

Belum lagi kalo mesti sewa hotel untuk memberikan kejutan. Konsep ini yang sampai sekarang tidak saya mengerti. Untuk apa menyewa kamar hotel untuk memberi kejutan? Siapa yang memulai rencana konyol tersebut? Sekarang itu sudah jadi standar umum untuk setiap anniversary.

Sama seperti alasan diatas, saya paham alasan ini juga akan dibantah dengan argumen,"ini hanya alasan untuk orang yang tidak mampu merayakan hari jadian.". Hei, hei, hei! Stop Darling, kadang-kadang omongan pedismu ada benarnya. Ha ha ha. Tapi bukan itu masalah utamanya. Ini hanya soal prinsip dan analogi sederhana bahwa kenapa hubungan mesti dilabeli dan dihitung, seakan ada sebuah atensi penyiksaan yang mesti diakhiri.

Berbicara masalah hari valentine, saya ingin menutup tulisan ini dengan lirik lagu Fiersa Besari:

Kau ingin merayakan valentine tapi kubilang
Sayang valentine untukmu
Tiga ratus enam puluh lima hari
Dalam setahunku

Related Posts

4 comments

  1. terkadang label "HTS" kesannya melebihi status yang bener-bener resmi. Rasa sayang yang ditimbulkan melebihi rasa pacar.
    Tapiiii balik lagi ke 2 pasangan tadi yang niat atau komitmen awalnya memang ngga pengen ada label "pacar" selama kebersamaan mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul kak, hubungan itu masalah negosiasi dan komitmen. Kalo keduanya sama-sama sepakat untuk berada dalam hubungan tanpa status, yah tidak masalah

      Delete
  2. Wuih mas Rahul apa kabar? Sudah lama nggak update 😍

    Yang namanya label pada sebuah hubungan, apapun itu (pacar, suami, istri, orang tua, this and that), pasti datang bersamaan dengan komitmen dan tanggung jawab. Jadi kalau belum siap untuk masuk pada dua tahapan tersebut (komitmen dan tanggung jawab), memang baiknya jangan pakai 'label' karena pasti akan merasa terikat, tersiksa, dan lain sebagainya 😁

    Saya pribadi pun nggak siap pakai label orang tua, belum bisa komitmen dan tanggung jawab ke arah sana. Hehehehe. Dan saya bisa paham maksud mas Rahul di atas, saya rasa, akan ada waktunya kelak mas Rahul siap menerima atau menggunakan label tersebut di masa depan. Entah label pacar, suami, endeblabla. So while waiting for that moment, just enjoy your present now (with your current thoughts), mas 🥳

    By the way, saya termasuk orang yang masih merayakan annive dan ultah sampai sekarang 🙈 Wk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kabarnya baik kak Eno, alhamdulillah. Kebetulan memang belakangan ini memang lagi ngga konsisten nulis di blog lagi. Ini saja draf tulisan lama. Ha ha ha.

      Bicara soal label, komitmen, atau tanggung jawab, saya pernah bicara hal ini dengan seorang perempuan juga kak Eno. Jawabannya mirip seperti yang kak Eno katakan, kalau belum siap yah seharusnya tidak melanjutkan hubungan.

      Yap, saya memang sedang menikmati masa-masa sekarang. Masa remaja dengan banyak waktu bersama kawan-kawan saya yang menyenangkan. Menikmati masa-masa menjadi anak yang baik kalau di rumah. Pemikiran seperti ini memang biasanya akan digerus waktu. Semakin tua, kita akan jadi semakin konvensional dan tradisional. Mudah-mudahan menjadi baik untuk kita semua. Aamiin.

      Delete
Terimakasih sudah membaca. Sila berkomentar terkait tulisan ini.