zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Laga Becek, Lebih Panas dari Euro 2020

Sudah beberapa tahun belakangan, saya sudah tidak mengikuti sepakbola. Nonton paling kalau diajak nobar. Peduli cuma kalau yang main Barcelona. Liat skor akhr di Livescore, liat highlight di YouTube. Sampai mau babak final Euro pun, saya ngga ada jagoin siapa-siapa. Scroll TikTok pagi-pagi cuma untuk liat keluh kesah para pejudi bola yang kalah.

Semenjak tidak terlalu mengikuti sepakbola, saya malah sudah ngga tau pemain-pemain klub papan atas. Cuma tau kalau pemain papan atas pindah karena fotonya mejeng di Explore Instagram.

Dulu, saya ingat bagaimana pagi-pagi setelah mandi saya sudah stay untuk nonton Sport 7 atau Lensa Olahraga. Sekadar untuk tau skor dan highlight pertandingan semalam untuk jadi pembahasan di kursi belakang. Saat masih usia SD, kecintaan saya dengan sepakbola itu sangat luar biasa. Untuk anak seusia itu, nonton Champion pukul 3 pagi adalah privilese yang luar biasa. Saat di sekolah, kita bisa jadi pembicara utama karena tau permainan semalam bukan hanya dari highlight program teve.

Sepulang sekolah, setelah pembahasa soal sepakbola habis, kami menunggu guru-guru pulang untuk menyulap lapangan sekolah jadi lapangan futsal. Main dengan sekolah sebelah pukul 1 siang sampai Tante saya datang untuk menjemput. Biasanya, saya sudah menyediakan backing untuk berjaga-jaga. Jadi, ketika saya menerima aba-aba kedatangan Tante, saya bisa lari dari pagar sebelah tanpa ketahuan.

Sewaktu kecil, kecintaan saya dengan sepakbola membawa saya pada dilema pada tokoh Si Madun. Dalam sinetron lawas itu, ia dikisahkan sebagai anak yang tinggal dengan Bapaknya yang melarang keras bermain sepakbola. Maka saat Madun curi-curi kesempatan untuk main, Bapaknya selalu datang untuk menghentikan pertandingan.

"Maduunn!!!"

Saya sering berada di sudut kamar, merenungi nasib saya yang sangat tidak beruntung. Ketika teman-teman saya disupport untuk masuk SSB (Sekolah Sepak Bola), saya malah lebih disuruh ikut les Bahasa Inggris. Seorang pelatih SSB yang tinggal di dekat rumah satu kali datang untuk meyakinkan orangtua agar saya bisa masuk SSB. Hasilnya nihil, saya tetap tak mendapat ijin.

Sama seperti Madun, saya juga mencuri-curi kesempatan untuk bermain sepak bola. Mulai dari pertandingan sepulang sekolah sampai pertandingan di sepetak tanah dekat rumah yang kini sudah jadi kos-kosan.

Waktu SD, sepetak tanah itu selalu penuh setelah salat ashar. Kalau tidak rame, biasanya dibagi menjadi dua klub. Tapi kalau rame, dibagi menjadi tiga sampai empat klub. Syarat untuk bermain tentu sangat fleksibel. Kalau banyak yang ingin main, syaratnya tentu mesti jago atau paling tidak mau jadi kiper. Kalau tidak banyak yang ingin main, syaratnya cuma mau main saja sudah cukup.

Waktu bermain biasanya ditentukan oleh adzan maghrib dan kondisi hati yang mempunyai bola. Kami tak pernah berhenti karena cuaca. Mau sepanas apapun, seekstrem apapun. Kalau hujan, malah itu jadi laga yang mengasyikkan. Dalam kondisi seperti ini, skill menjadi nomor sekian-sekian. 

Kunci dalam permainan ini terletak pada pintar-pintarnya pemain melihat medan. Jangan menggiring atau mengoper pada medan yang becek karena akan menghambat laju bola. Serangan balik dari lawan biasanya cukup efektif untuk membalikkan keadaan. Kiper jadi was-was, pemain belakang sudah pasrah karena tau pemain lawan akan maju semua.

Kemarin setelah pulang dari kampus, saya singgah di lapangan yang tidak jauh dari rumah setelah membeli jalangkote. Saya menonton permaianan anak SSB yang dulu ingin saya masuki. Masih ada pelatih yang sama, sedang berbincang dengan seorang lelaki yang saya asumsikan orangtua salah satu anak didik SSB tersebut.

Laga Becek, Lebih Panas dari Euro 2020
Akhir-akhir ini memang sering hujan sehingga lapangan jadi becek dan berlumpur. Saya masih bisa menikmati skill tipis-tipis dari permainan di lapangan. Meski begitu, tak jarang juga saya tertawa jika mereka berlari dan bola tiba-tiba berhenti pada satu genangan. Itu membawa saya pada kenangan masa SD, tanding dengan sekolah sebelah.

Setiap kamis, kami selalu mengadakan senam. Sekolah kami berbentuk segi empat yang lapangannya diapit oleh dua sekolah. Hari itu, cuaca mendung dan terlihat akan turun hujan. Setelah senam dengan penuh keringat dan gerimis, kami merencanakan pertandingan sepulang sekolah. Ukuran lapangan orang dewasa kami gunakan dengan sebelas orang pemain.

Awan gelap kelabu, hujan turun. Kami sudah tidak peduli dengan baju dan sepatu yang basah. Tas sekolah, kami simpan di salah satu kelas kosong sekolah sebelah. Pertandingan dengan sekolah sebelah memang selalu terasa seperti El Clasico. Kami mempunyai ujung tombak pemain yang kecil namun lincah seperti Messi. Dengan pemain tengah yang tinggi dan menjadi kapten seperti Pique. Permaian berjalan sangat seru dan panas.

Saya berada di posisi belakang, yang sesekali naik jika serangan balik atau umpan lambung. Tak terhitung berapa sering bola berhenti disatu genangan yang sama. Tak terhitung berapa sering kami terpeleset di rumput dan lumpur yang licin. Permainan berlangsung tanpa wasit dan hakim garis. Ketika sudah mencapai skor imbang, kami memilih berhenti atas nama harga diri.

Pertandingan-pertandingan dari laga becek selalu jadi kenangan yang sulit untuk dilupakan. Saya menonton pertandingan latihan itu sambil menikmati jalangkote yang masih panas. Permainan berjalan dengan begitu seru dan panas. Lebih panas dari pertandingan Euro yang kemarin saya saksikan. Polanya masih sama. Kalau bukan bolanya yang berhenti, pasti pemainnya yang terpeleset.

Related Posts

Post a Comment