KAMAR KONTRAKAN ILO
Malam ini
adalah malam yang sangat berat untuk Ilo. Tidak seperti malam Minggu
biasanya, kini Ilo telah menyetel kemejanya sambil menghadap cermin dan Dito
juga demikian, tapi untuk menyisir rambutnya. Ilo mulai merasakan malam yang
tidak biasa itu ketika Dito datang dengan ajakan untuk keluar Malam Mingguan.
Sebelum Ilo
memasang kancing bajunya, dia menutup jendela kamar yang dari tadi masih
terbuka. Semua aktifitas yang dilakukan Ilo tampak terasa slowmotion. Ilo kini kembali menghadap cermin dan kembali menatap
dirinya. Setelah sukses memasang tiga kancing pertama dengan waktu yang sangat
lama, Ilo kembali berpikir.
“To, gue
ngga yakin deh.” Kata Ilo dengan nada keraguan.
Dito
menghentikan gerakan yang dari tadi dia lakukan: menyisir, lalu seperti biasa,
Dito adalah tipe orang yang harus dituruti. Dia adalah orang yang kadang banyak
maunya. Kadang juga, dengan senang hati memberi saran dan support walau ujung-ujungnya ngga ada yang beres.
Kancing
pertama,
“Yakin, Lo.
Yakin. Emang lo ngga bosan tiap malam Minggu cuman main game bola doang?” Kata Dito, masih dengan sisir ditangannya.
“Bo.. Bosan.
Tapi kalau gue ingat-ingat setiap kita keluar malam Mingguan ada aja yang ngga
beres.” gumam Ilo.
Dito
menyimpan sisir,”Yaudah kalau bosan. Bdw, itu mungkin cuma seingatmu deh.” Kata
Dito,”Tapi tenang, malam ini ngga akan ada lagi yang aneh-aneh.” Lanjutnya.
Ilo
mengarahkan pandangannya ke Dito,”Entah apa cuma seingat gue, setiap mau keluar
juga lo bilang gitu.”
Dito terdiam
dengan jarak yang lumayan lama.
Kancing
kedua,
“Yaudah deh,
pas gue bilang gitu kita kan juga aman-aman aja.” Kata Dito, sambil menaruh
sisir.
Ilo kembali
mengarahkan pandangannya ke Dito,”Lo ngga ingat yah, To. Waktu lo bilang gitu
juga, kita hampir mati disodomi sama banci. Itu juga gara-gara lo sembarang
ngerayu.”
Dito terdiam
untuk kali kedua.
“Parfum?”
Dito mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tuh,
dibelakang tv.”
Dito
mengambil dan menyemprotkan parfum itu dengan brutal, tidak terhitung, dan
semua dibagian ketiak.
“Mau?” tanya
Dito.
“Ngg..”
Belum sempat
Ilo bicara, Dito sudah terlebih dulu menyemprotkan parfum itu secara brutal.
Juga dibagian ketiak.
“Gini deh,
yang udah ya udah. Pokoknya malam ini kita coba aja dulu,” kata Dito,”Emang lo
mau sendiri terus?”
“Kan udah
ada lo.” kata Ilo,
“Maksudnya
pacar, Lo! Emang lo mau ciuman sama gue?”
Dito mencoba
mencium Ilo.
“To, ngga
gini. Ngga gini.” kata Ilo.
“Makanya.
Pacar itu kalau ngga kita cari yah dia yang nyari kita. Mungkin mereka-mereka
udah ngeliat kita, cuman ngga ada yang mau.” jelas Dito.
Sekarang,
giliran Ilo yang terdiam.
Kancing
ketiga,
“Yuk” kata
Ilo.
Motor Dito
melaju kencang. Ilo masih dengan perasaan setengah ragu. Bahasa kasarnya mungkin;
dilema. Ilo sedang dilema antara mempertaruhkan statusnya dan musibah apa yang
akan dia alami malam ini. Tidak berapa lama, motor Dito berhenti didepan sebuah
café. Café yang berbentuk seperti sebuah ruko namun cukup asik untuk ditempati
nongkrong. Tertera di papan nama: Café Blojom.
Setelah Dito
selesai mengecek rambutnya, mereka akhirnya masuk. Dito masuk dengan tidak
sabaran, Ilo masuk dengan perasaan was-was. Beberapa meja sudah ditempati. Ilo
dan Dito memilih meja nomor 4. Ilo yang memilihnya.
MEJA 4
MEJA 4
Setelah
mereka duduk, mereka kemudian bisa dengan seksama melihat sekeliling mereka.
Mayoritas, mereka sendiri-sendiri. Ada yang sama temannya, ada juga yang sama
pacarnya, tidak lupa yang sendiri juga ada. Kegiatan mereka juga random dari
meja ke meja. Ada yang asik bercerita sampai minumannya sudah habis, ada yang
cuman gandeng-gandengan dengan obrolan via bisik-bisik, ada juga yang cuma
ditemani hape, ada juga yang tanpa kegiatan.
Wanita
bercelemek hitam datang menyodorkan menu dan berkata,”Silahkan mas.”
Tanpa
melihat menu, Ilo yang dari tadi melihat sekitar, langsung berkata,”Air putih
satu mba.”
Dito yang
memegang menu, merasa bingung. Dito membuyarkan khayalan Ilo dengan satu
pukulan,”Eh, liat meja orang-orang. Meskipun lo norak, jangan terlalu nampak.”
Kata Dito.
Dito kembali
melihat menu, dia berhenti sambil menelan ludah sejenak,”Air putih dingin dua,
mba.”
Pelayan
pergi dengan satu umpatan kata,”Bego!”
Setelah
pelayan pergi dan tidak terlihat, Dito berbisik ke Ilo,”Menu-menunya
mahal-mahal banget, Lo.”
“Makanya,
gue pernah dibikin tekor sama cewek gebetan gue disini. Lo ngga ingat, waktu
gue pinjam duit lu tujuh ratus ribu waktu itu?” kata Ilo.
Dito kembali
mengarahkan pandangannya kemeja nomor 13. Dia melihat seorang cewek dengan
dandanan yang kurang biasa. Cewek itu memakai celana jeans biru gelap dan jaket
kulit ketat. Sepertinya memakai topi juga.
“Coba liat
meja 13, Lo” kata Dito.
“Iya,
kenapa?” tanya Ilo.
“Sendiri..
Dia sendiri.” kata Dito.
“Yaudah.” kata
Dito.
Dito yang
kegirangan langsung berubah ekspresi,”Samperin kek, jangan bencong.”
“Gue lagi
ngga ada bahan.” kata Ilo.
“Oke, biar
gue tunjukin caranya jadi laki-laki sejati.” kata Dito,”Tapi abis gue gantian.”
MEJA 13
Dito
bergegas ke meja nomor 13. Dia mulai melancarkan aksinya. Terlihat dari tadi,
perempuan yang duduk di meja nomor 13 itu seperti menunggu-nunggu seseorang.
“Hai.” sapa
Dito.
“Mas, jangan
disitu. Kalau mau, duduk aja.” kata perempuan meja 13.
Dito duduk,
lalu menyodorkan tangannya,”Dito. D – I – T – O” ejanya.
“Mas kira
saya anak TK.” kata perempuan itu sinis.
Dengan
tangan masih berharap, Dito berkata,”Siapa tahu salah nyebut, Mba.”
“Saya udah
tahu nama kamu, itu udah cukup. Anggap aja udah kenalan.” kata perempuan itu.
Dito
berhenti menyodorkan tangannya, dan bertanya,”Nunggu siapa yah Mba?”
Perempuan
itu tidak menjawab, hanya menatap sinis ke Dito, lalu kembali gelisah. Ilo
melihat keadaan Dito dan perempuan itu. Yang Ilo lihat adalah kenyataan, jika
perempuan yang mau diajak kenalan Dito itu cuek.
“Oh, teman
yah?” tanya Dito, mencoba mencairkan suasana.
Perempuan
itu kembali mengarahkan tatapan tajam ke Dito.
“Oh, pasti
bukan yah.” Kata Dito,”Pacar?”
“BUKAN!”
teriak perempuan itu.
Semua mata
tertuju di meja nomor 13. Ilo yang mendengar perempuan itu kaget, dengan
minuman yang mau ia minum, akhirnya tertumpah di celana dan bajunya. Ilo kaget,
apalagi Dito. Perempuan itu melihat sekitarnya, lalu berkata pelan,”Eh bisa
diam ngga sih. Oke gue jawab, gue lagi nunggu barang. Barang pesanan gue.”
Dito masih
terdiam kaku setelah mendengar gertakan perempuan itu. Perempuan itu
menyodorkan minumannya ke Dito.
“Ini, minum
dulu.” kata perempuan itu.
Dito
meminum, lalu berkata,”Terima kasih ya.”
“Aku boleh
nanya lagi ngga?” kata Dito, sambil menutup telinga.
“Satu
pertanyaan.” kata perempuan itu.
“Kamu lagi
nunggu barang apa? Kok gelisah banget?” kata Dito.
“Pistol sama
pelurunya. Itu barang pesanan gue. Orang yang ngantar belum datang-datang. Gue
gelisah karena pistol itu limited edition, bisa nembus kepala orang sekaligus
tujuh, bahkan lebih.” jelasnya.
Dito menelan
ludah,”Kayaknya aku mau ke temanku dulu deh.”
“Oke, aku
kasih satu kali coba deh. Anggap aja permintaan maaf.” kata perempuan itu.
“Oh, ngga
usah. Aku cuma bisa main selang-selangan air.” kata Dito sambil berlalu dari
meja 13 itu.
MEJA 4
“Gimana,
To?” tanya Ilo.
“Lupain.
Perempuan itu gila kayaknya.” Kata Dito.
Dito duduk
dan mencari-cari target berikutnya, setelah matanya berhenti disatu meja, Dito
berkata,”Sekarang giliran lo. Itu cewek meja nomor 18.” Kata Dito.
“Ngga usah.
Kamu aja deh.” Kata Dito.
“Jangan
bencong.” kata Dito,”Lo cuma tinggal ngajak kenalan. Kalau dia jutek duluan,
tinggalin. Kalau tertarik, lo ajak bicara lalu minta nomornya.” jelas Dito.
Dito menarik
tangan Ilo hingga berdiri, lalu mendorongnya sampai dia berjalan. Ilo sudah
dipertengahan, dia kembali menengok ke Dito. Ilo berjalan ragu ke meja nomor 18
itu, lalu dia berkata,”Permisi Mba, Toiletnya dimana yah?”
“Oh, itu
mas. Kanan untuk cowok, kiri untuk cewek.” kata perempuan meja 18.
“Ma..
Makasih mba.” Kata Ilo.
“Dasar
bencong!” kata Dito.
Di toilet,
Ilo mencuci mukanya. Berharap rasa geroginya hilang. Dia lalu mencoba
melafalkan kalimat pembuka yang telah diajarkan Dito,”Permisi, Mba. Boleh
kenalan?”
“Kok jadi
kayak tukang jualan parfum?” umpatnya.
“Permisi,
boleh kenalan?” ulang Ilo.
“Boleh.”
kata laki-laki berotot yang baru saja masuk.
“Bu.. Bukan
Mas. Aku cuma latihan.” Jelas Ilo.
Terjadi jeda
yang sangat panjang, lalu laki-laki berotot itu mencoba menjelaskan,”Hmm. Pasti
mau kenalan sama cewek?”
“Iya mas.”
Kata Ilo.
“Kalau mau
dapat simpati dari cewek itu kuncinya cuma satu: jujur. Kalau udah jadian,
jangan sekali-sekali biarkan cewekmu diganggu orang. Kalau perlu beri
pelajaran.” kata laki-laki berotot itu.
Ilo mengangguk,
lalu berkata,”Makasih Mas. Saya duluan.”
Ilo keluar
dari toilet sambil memikirkan, pelajaran seperti apa yang laki-laki brotot itu
maksud. Lalu dia bermasa bodoh dengan itu, Ilo kembali menghafalkan kalimatnya.
Dia mencoba melewati meja nomor 18 itu, dan perempuan itu berkata,”Udah ketemu
toiletnya?”
“U.. Udah.”
Kata Ilo.
“Eh, kata
temannya, kamu katanya mau kenalan?” kata perempuan itu.
“Hah?
Teman?” kata Ilo, keheranan.
Ilo lalu
melihat ke meja nomor 4. Meja mereka. Dito memberikan jempol kepada Ilo.
“Hehehe,”
Ilo merasa malu.
“Duduk.” kata
perempuan itu.
Ilo melihat
perempuan itu, lalu dengan gemetar dia menyodorkan tangannya,”Ilo”
Perempuan
itu meraih tangan Ilo,”Iin. Eh, kok nama kita samaan yah. Tiga-tiga huruf
gitu.”
“Hahaha, iya
yah.”
Suasana jadi
semakin cair. Ilo mengingat perkataan Dito untuk jangan lupa meminta nomor.
Karena sudah tidak tau apa yang akan dibicarakan, Ilo mau mengarahkan
pembicaraan.
“Eh, aku mau
ke temanku. Kayaknya dia udah gelisah.” kata Ilo.
“Ohiya,
gapapa.” Kata Iin.
“Siapa tahu,
kamu mau ketemu aku lagi, atau aku mau ketemu kamu lagi.” kata Ilo.
Iin melihat
Ilo dengan ekspresi heran.
“Maksudnya,
aku boleh ngga minta nomor kamu?” kata Ilo.
“Oh, kamu
ribet yah. Sini hape kamu. Biar aku catet.” kata Iin.
Ilo
memberikan hapenya. Sementara Iin menulis nomornya, Ilo mengacungkan jempol ke
Dito.
“Nih.” kata
Iin sambil menyodorkan hape.
“Makasih
yah, aku kesana dulu.” kata Ilo.
Ilo berlalu
meninggal Iin yang sedang menyeruput Strowberry susu-nya.
Meja 4
“Berhasil,
To.” kata Ilo kegirangan sambil menunjukkan layar hapenya, padahal mati.
Dito cuma
mengangguk-angguk. Ada perasaan senang karena melihat temannya berhasil, ada
perasaan iri karena dia belum mendapatkan perempuan untuk dia dekati. Dito
sedang memantapkan nyalinya. Ilo masih kegirangan sambil mencium-cium layar
handphone-nya sambil berkata,”Tangan kamu harum yah, In.”
Dito menarik
satu napas panjang lalu berdiri. Dito bilang ke Ilo, kalau Ilo harus nunggu,
karena sekarang adalah gilirannya. Ilo tidak menjawab, menoleh sedikitpun
tidak. Dito yang kesal, langsung melangkah. Melangkah mendekat ke meja nomor
16. Di meja nomor 16 ada seorang cewek berpakaian glamour dan rambut terurai panjang serta tubuh yang ideal. Selagi
Ilo berbicara bersama Iin, Dito memang sudah mencari-cari, dan pilihannya jatuh
ke perempuan meja 16 ini.
Dito
mengubah taktik. Dia memulai semuanya dengan senggolan meja, yang dia pelajari
dari sinetron-sinetron yang sering dia nonton. Dia sudah mengukur kecepatan
berjalannya, juga posisi antara pertemuan pinggangnya dan meja. Dia menabrak
meja 16 itu. Aaaaa, suara perempuan
meja 16 itu. Dito menabrak dengan lumayan kencang. Tidak terlalu kencang, tapi
minuman yang ada didekat perempuan itu jatuh dan menumpahi hampir setengah
badan. Semua mata tertuju ke meja 16. Dito mulai panik, dia kaku. Ilo yang juga
kaget mendengar teriakan perempuan itu, langsung menutup-nutup muka dengan
handphone-nya. Hampir beberapa saat, setelah kejadian itu, datang sosok besar
dari arah bagian belakang perempuan itu. Dia mungkin tidak mendengar, tapi saat
sampai di meja 16, dia bertanya,”Kenapa sayang?”
Ilo mengenal
sosok laki-laki besar itu. Itu kan yang di toilet, gumamnya. Ilo keluar dengan
sangat hati-hati menuju ke tempat parkir. Sementara perempuan yang sedang
ditanya itu hanya melihat kearah Dito. Masih sama di posisi awal, Dito tidak
bisa bergerak, dia kaku. Ilo yang sudah berada diluar hanya bisa menunggu Dito
keluar. Sejenak disaat Ilo mau kembali mencium handphone-nya lagi, terdengar
suara teriakan. Aaaaaaaa!. Dito!,
kata Ilo, tapi dia masih di posisinya, tidak berani untuk masuk kedalam.
Ilo hampir
saja berpikir untuk masuk, karena merasa kasihan kepada Dito. Tapi, Dito akhirnya
keluar dengan wajah yang tidak bisa dideksripsikan. Mungkin hanya tiga kata
yang mewakili keadaan wajah Ilo saat itu: Merah, Memar, dan Benjol. Ilo sejenak
berpikir,”Oh, pelajarannya kayak gitu yah.”
Sedikit update! Jadi, series cerpen [ilo] ini mau saya buatkan versi ebook di setiap potongan ceritanya. Saya mau mencantumkan beberapa pendapat formal di cover ebook-nya nanti. Jadi, bagi kalian yang namanya ingin dicantumkan bersama pendapatnya bisa kirim pendapat kalian lewat rahulsyarif@gmail.com dengan subjek (PENDAPAT EBOOK ILO). Ditunggu!
Asik deh, sekalinya post langsung cerita panjang gini. Akhirnya suudzon gue salah yang bilang, "Ah, Rahul gak pernah update blog. Paling blognya dijual."
ReplyDeleteCeritanya asyik dah. Dijadiin pdf terus bisa diunduh bagus juga, Hul. Siapa tau mau baca berulang-ulang, biar ga ribet.
Hehehe, ngga sampai dijual juga sih.
DeleteBdw, aku udah mikirin. Tapi, sebelumnya aku mau minta pendapat formal dari kalian. Biar aku bisa taroh beberapa dicover. Untuk pendapat formalnya bisa langsung ke email; rahulsyarif@gmail.com
Ahahaha gue pikir tu ceritanya tentang apa, yang lucu tuh bagian dia bilang hampir disodomi bandi. wkwk, jadi itu pelajarannya?
ReplyDeleteeh iya, kayaknya ada yg typo deh, di bagian ini:
Dito duduk dan mencari-cari target berikutnya, setelah matanya berhenti disatu meja, Dito berkata,”Sekarang giliran lo. Itu cewek meja nomor 18.” Kata Dito.
>>>> “Ngga usah. Kamu aja deh.” Kata Dito. <<<<
“Jangan bencong.” kata Dito,”Lo cuma tinggal ngajak kenalan. Kalau dia jutek duluan, tinggalin. Kalau tertarik, lo ajak bicara lalu minta nomornya.” jelas Dito.
Makasih, atas notice-nya.
Delete:)
Keren banget ah cerpennya. Gue dapat pelajaran juga dari cerpen ini, yakni
ReplyDeleteKalau mau dapat simpati dari cewek itu kuncinya cuma satu: jujur. Kalau udah jadian, jangan sekali-sekali biarkan cewekmu diganggu orang. Kalau perlu beri pelajaran.
Setiap kalimatnya ada kaitannya dengan cerpen ini. Dan si cowok itu juga membuktikan ucapannya dengan menghajar Dito karena mengganggu ceweknya. Itu artinya dia pria sejati deh.
Tapi gue agak bingung kali ya, karena namanya agak miripan gitu. Jadi sering mikir-mikir sendiri, mana Dito mana Illo. Tapi maklum, karena baru pertama kali baca.
Buat aja deh versi E-booknya, pasti keceh badai lah.
Makasih, selamat menikmati.
DeleteWaktu menciptakan kedua karakter ini gue juga sempat bingung. Yang penting, ngga menganggu cerita~
Ceritanya asik banget nih bro, khas cerita percintaan remaja jaman sekarang yang cari kenalan di malam minggu hehe.
ReplyDeleteMungkin itu pelajaran yang pantas ya bagi Dito, biar dia kapok. Habis dia ngotot banget pengen kenalan sama cewek tapi pake cara yang salah. Beruntung banget si Ilo yang udah dapat nomornya Iin.
Wah, mau dibikin ebook? Keren banget nih! Lanjutkan!
Cukup jujur dan apa adanya.
DeleteEh iya nih, aku mau buat ebook-nya juga. Kirim pendapat formalnya dong.
ecie , cerita kaayak yg ada di FTV ya bro ? tiba tiba ketemu cewe di sebuah rumah makan yg elit gitu wkkwkwkwkwk
ReplyDeletelagi pula ke tempat begituan hanya pesan air putih, dasar bego :v /
ebooknya kira kira mau dishare ke grup enggak ?
Jangan disamain. Aku buat ini gara2 eneg sama sinetron.
DeleteBegonya ke siapa nih?
diliat nanti~
Haha.. awalnya kupikir nih keputusan akhir bakal pacaran mereka berdua. Haha.... aku nikmatin banget cerpennya. Bagus. Cuma kok agak aneh sih, ceweknya mau-mau aja diajak kenalaaaannn... jual mahal dulu keeekk >.< Pake segala nyuruh duduk. Ah kalau aku sih bakal cuekiiinn... Cuma itu sih nggak logisnya...
ReplyDeletetapi gaya kamu enak kok. Nggak bikin mikir. Lanjutkan.. :D
Ohya, untuk ukuran cerpen yang dipublish di media sosial (bukan cetak) Ya panjang segini udah oke. Jangan terlalu panjang ya.. Pendek sih lebih baik kaya Flash Fiction gitu. Tapi sepanjang ini udah cukup. Nggak bikin bosen. :)
Hahaha, so, selamat menikmati.
DeleteAda karakter yg memang aku buat ngga menjaga Imej gitu.
Simpel aja, aku juga balas mikir.
Tergantung kebutuhan cerita juga sih. Tapi, makasih atas sarannya~
kalo boleh kasih sedikit kasi notice nih. Kalo menurut gue, lebih baik materinya ditambahin, biar seimbang antara percakapan & materi. Btw, bagus kok, gue suka yang bagian yang lagi cuci muka, tiba2 ada pria ber-otot. :D
ReplyDeleteSiap, tungguin potongan selanjutnya yah~
Deletehggg... ini cerpen atau cerbung? soalnya gantung aja gitu karakter2nya. jadi karakter si Lin cuma jadi objek kenalan aja? ._.
ReplyDeletedan kayaknya gila aja, kenalan with strangers secara langsung. Kecuali tamvan maksimal sih ada aja kemungkinan berani begitu hahaha
Bisa jadi dua2nya. Karakternya Lin itu sebenarnya Iin. Sengaja dibuat seperti itu.
DeleteHahaha, demi menghilangkan status jomblo, apapun dilakukan. Jangan salah~
Kayaknya yang karakter linnya kok kesannya jadi gampangan gitu, seumur aku nggk pernah kenalan sama cewek dengan cara segampang itu hehehe...
ReplyDeleteini nanti ceritannya mereka setiap malam minggunya apa gmna ? kalo ala-ala malam minggu miko gitu kayaknya seru juga tuh
Ada sisi yang kalian tidak diketahui dari karakter yang memang sengaja disemunyiin dulu, cuy~
DeleteAgak kesel saya baca yang si pelayannya ngomong bego wkwkw. Jujur itu gak sopan banget untuk ukuran pelayang restoran mahal wkwk.
ReplyDeletemungkin untuk beberapa karakter pembawaanya belum cukup kuat, ada respon-respon percakapan yang kurang ngeuh kalau menurut saya hehe. Mungkin bisa ditambah dengan beberapa kosa kata yang keren atau pendeskripsian karakter yang lebih imajinatif.
huhu maaf kalau kesannya menggurui gak ada maksud kok, saya juga masih belajar :(
Sekali lagi, ada sisi humanis yang tidak kalian ketahui dan sengaja tidak diberitahukan.
DeleteNgga apa2, kita sama2 belajar, saling memberikan saran dan dukungan~