Sebelum menyerahkannya ke saya, ia bertanya,"Isinya apa?"
Saya jawab,"Buku, Ma."
Pertanyaan itu terlontar karena dua paket sebelumnya adalah paket makanan dari kak Eno. Setiap kali ada paket dari kak Eno, Mama selalu jadi orang pertama yang antusias. Apalagi waktu saya bilang paket terakhir berisi Mie-Mie Korea yang dikirim langsung dari Korea. Ha ha ha. Saya mau klarifikasi tapi takut dan tak enak juga. Saya cuma berusaha menahan tawa.
Kembali ke buku.
Dari empat tulisan yang saya kirim, hanya satu yang masuk dan jadi kandidat kuat bersaing dengan empat tulisan keren teman-teman blogger. Dalam tulisan itu, saya membahas tentang tanggung jawab. Masalah yang mulai saya resahkan sejak lama akhirnya bisa jadi satu tulisan meski saat saya baca kembali, masih belum utuh sebagai sebuah pemikiran.
Tiga tulisan yang tidak masuk ke buku sudah saya publish dalam pos Sulit Jadi Manusia. Alangkah baiknya jika saya membagikan juga tulisan keempat saya. Agar teman-teman yang tidak mendapatkan bukunya, bisa ikut membaca. Tidak lengkap, tapi masih akan saya perbarui.
---
Responsible and Struggle
Jujur, saya agak canggung jika mendapat pujian. Bukan berarti saya tidak senang dengan pujian, saya lebih berpikir masih ada yang lebih pantas mendapatkan hal itu. Tuhan, misalnya. Makanya, saya paling tidak senang dengan satu momen dimana Mama saya membesarkan nama saya didepan adik saya. Selain karena membuat satu jarak dengan adik saya, itu juga membuat saya merasa risih. Untung kalo begitu, yang paling menyebalkan adalah momen pertemuan keluarga. Diantara beragam topik dan bahasan gosip, pasti ada satu momen ketika para ibu-ibu membahas anak-anaknya. Dan bagi kami, para anak-anak mereka, merasa itu hal yang menyebalkan dan tidak perlu.
“Eh, anak saya lulus jurusan ini. Si Romy masuk jurusan apa?”
“Oh, Romy tidak lulus, mau tes Polisi kata Bapaknya.”
Dialog yang seharusnya tidak perlu, malah menjadi sebuah karangan bebas yang sebenarnya tidak diinginkan. Makanya, saya tidak heran jika pada satu pertemuan keluarga pasti ada saja yang berhalangan hadir. Entah karena memang benar-benar berhalangan, atau karena mencari-cari alasan agar berhalangan.
Seiring waktu, saya merasa tanggung jawab saya makin berevolusi menjadi satu kecemasan dalam diri saya. Ada beberapa bayangan di kepala saya, tentang tanggung jawab yang akan saya emban sewaktu-waktu. Menjadi tulang punggung keluarga, misalnya. Saya tau, suatu saat itu akan terjadi. Entah bersama pasangan hidup, atau dengan Mama dan keluarga saya. Atau tanggung jawab setelah studi. Saya tahu, Mama saya menaruh harapan besarnya kepada saya. Ia sudah menyekolahkan saya dari Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah Atas. Sekarang, saya masih proses menjalani proses studi di salah satu Kampus di kota saya.
Mengambil jurusan Sastra dan Bahasa, bukan perkara yang mudah. Saat lulus SMA, Mama saya mewanti-wanti untuk saya mengambil jurusan konvensional macam Akuntansi atau Keguruan. Mama saya berharap, saya nantinya akan menjadi guru. Saat pendaftaran, tanpa bilang-bilang, saya memilih jurusan Sastra dan Bahasa di FIB UHO, Kendari.
Beberapa hari saat tahu, Mama saya marah dan kecewa. Meski tidak meledak, saya cukup yakin ia sangat kecewa. Apalagi setelah mendengar jurusan dari anak teman-teman dan tetangga. Ada yang masuk kehutanan, ekonomi pembangunan, dengan embel-embel lapangan pekerjaannya yang mudah. Beberapa hari itu juga, saya mencoba meyakinkan Mama saya. Bahwa mungkin ini bukan pilihan yang Mama suka. Tapi ini pilihan yang akan saya jalani dalam beberapa tahun. Mungkin berhasil, mungkin juga tidak. Tapi saya tidak mau menjalani hal yang tidak saya sukai. Waktu itu, alasan yang sering keluar adalah saya sudah muak dengan pelajaran yang tidak saya sukai semasa SMP dan SMA. Saya masuk jurusan IPS di SMA untuk menghindari rumus dan matematika. Bodohnya, saya tidak tau kalau pelajaran inti Matematika tetap ada, dan saya juga akan mempelajari Ekonomi dan hal-hal yang berkaitan dengan jurnal-jurnal Akuntansi.
Jujur, saya masih bingung apa yang akan saya lakukan setelah lulus Kuliah. Dalam proses memilih jurusan, saya sangat optimis. Tapi sekarang, saya mengalami satu kebimbangan yang sebenarnya tidak perlu: apakah saya memilih Linguistik atau Sastra? Fokus mata kuliah itu sebenarnya sudah saya pikirkan sejak masuk. Saya akan mengambil Sastra. Tapi nanti akan ke mana. Tapi jika saya ke Linguistik, itu sangat tak mungkin. Pelajaran saja, saya masih sering ngobrol dan main hape.
Berbicara tanggung jawab memang bicara tentang struggle masing-masing orang. Aneh sebenarnya, bicara tentang tanggung jawab yang akan dan sedang saya emban tapi kita semua tentu saja punya tanggung jawab dan strugglenya masing-masing.
Saya memang orang yang berpikir panjang, tapi bukan orang perencana. Saya mungkin harus belajar dari sekarang. Dimulai dari hal sekecil menggugurkan tanggung jawab sekecil mungkin. Makanya, saya punya beberapa prinsip yang kadang terdengar aneh. Saya selalu mencuci bekas piring makan saya, tidak boleh dicuci orang lain kecuali dalam keadaan tertentu. Karena saya merasa itu tanggung jawab saya, itu bekas makan saya. Jika hal sekecil itu tidak bisa saya lakukan, bagaimana melakukan tanggung jawab besar nantinya.
Ini mungkin terdengar seperti ocehan anak yang sudah mengalami fase quarter life crisis. Tapi saya tidak ingin menyebutnya demikian meski terdengar begitu. Sampai saat ini, jika ditanya apakah saya sudah menjadi lebih baik, saya akan menjawab,”Mudah-mudahan. Saya masih terus mencoba untuk lebih baik. Dari diri saya yang kemarin.”
---
Awalnya, saya ingin mengedit tulisan ini. Tapi saya berpikir kembali untuk tetap membuatnya begitu. Sama seperti saya mengirim pertama kali ke imel kak Eno. Jika ada kesempatan dan ingatan, tulisan ini akan saya perbarui secara berkala.
Mas Rahul kerennn banget bisa submit empat tulisan sekaligus, dan salah satunya berhasil masuk lima besar pulak 🎉
ReplyDeleteOh ternyata kisah ini yaa yang pernah Mas Rahul mention waktu itu. Salah satu sisi bersyukur sekali bisa memilih jurusan sendiri, namun di sisi yang lain tentu tanggung jawabnya lebih besar. Setidaknya itu pilihan sendiri sih yaa, tidak ada embel-embel paksaan.
Apapun rencananya ke depan, semoga Mas Rahul bisa mempersiapkannya dengan baik. Setujuu dengan kalimat terakhirnya, yang penting kita bisa berusaha menjadi lebih baik dari kemarin (:
Saya mah tadinya mau submit satu tulisan saja, tapi saya mikir lagi, sepanjang baca blog kak Eno jarang baca pos yang benar-benar panjang. Ide untuk memecah jadi empat kemudian didukung oleh syarat kebebasan mengirim lebih dari satu tulisan.
DeleteIya kak Jane, ketika yang lain merasa keren saya bisa memilih jurusan sendiri, saya malah harus menanggung beban dua kali lebih berat.
Aamiin kak Jane. Semoga kita bisa jadi orang yang lebih baik
Aku pun juga sukaa dg tulisan Mas Rahul, ga salah masuk 5 besar sama Mba Eno 😍
DeleteTadinya aku sempet mikir, kurangnya cuma satu, kurang panjang 🤣 ternyata krna Mas Rahul menyesuaikan kaya post Mba Eno selama ini yg memang ga terlalu panjang yaa..
Ha ha ha, kalau yang tiga pos itu memang aslinya satu tulisan. Kalau yang ini, lebih kepada saya nulisnya akhir-akhir. Jadi kesempatan untuk kontemplasinya lebih sedikit, padahal masih ada poin yang ingin saya masukkan
DeletePertama kali baca ini, yg berhasil menarik perhatian saya dari tulisan ini adalah judulnya, Responsible and Struggle. Entah saya yg lupa atau memang hampir nggak pernah menyadari, bahwa tanggungjawab dan perjuangan seringkali berdampingan satu sama lain. Nggak sedikit tanggungjawab yg harus diiringi dengan struggle; gimana caranya melewati tantangan yg ada, dan
ReplyDeletemelalui tahapan-tahapan yg sulit terkait dengan cobaan ketika dibebankan suatu tanggungjawab. Ah, pokoknya dua kata ini seperti nggak bisa dipisahkan, kecuali oleh rasa ikhlas dan tulus. Itupun seringkali masih ditandai dengan struggle yg juga nggak mudah.
Semoga, sesulit apapun struggle yg kita miliki, bisa kita lalui dengan bijaksana ya Rahul, Aamiin. Dan semoga Rahul segera bisa menemukan jawaban yg pas di hati dalam menentukan konsentrasi antara Linguistik dan Sastra. Semangat💪🏻😊
Saat mencari judul, dua kata dalam tulisan sayabitu yang sangat menggemaskan. Makanya saya jadikan judul. Sama kak Eno malah dijadikan dua kata yang saling berlawanan. Tidak masalah bagi saya, yang penting isinya bisa sampai.
DeleteAamiin, Aina. Aamiin.
Dari awal baca tulisan ini waktu mas Rahul email, saya langsung suka dengan isinya hehehe. Menurut saya sangat menggambarkan kegelisahan hati khas anak seusia mas Rahul yang juga menapuk beban tersendiri sebagai anak pertama dalam keluarga. While saya pribadi adalah anak pertama jadi sedikit banyak bisa relate pula 😆
ReplyDeleteDari hasil baca tulisan tersebut, saya yakin mas Rahul akan bisa sukses ke depannya apapun karir yang ingin mas kejar. Karena mas Rahul sudah develop tanggung jawab dari hal-hal kecil melalui kegiatan di rumah. Semoga mas Rahul bisa sukses, dan bisa membuktikan kalau pilihan mas Rahul tepat plus bisa jadi panutan untuk adik tercinta 😍💕
Salah satu keresahan untuk anak sulung ini mah 😅
DeleteAamiin kak Eno. Aamiin.
Jujur dulu aku belum pernah mempunyai pikiran akan beban jadi anak pertama, anak tengah, dan anak bungsu. Semenjak membaca tulisan Awl atau Rahul memanggilnya Aina, beberapa bulan lalu aku jadi punya pandangan baru bahwa ternyata ada yang terbebani gara-gara first born et cetera, tambah lagi baca komenan Rahul di postingan itu.
ReplyDeleteGara-gara itu aku juga nanya sama ponakan aku yang kebetulan anak pertama dan jawabannya kurang lebih sama kayak ini.
Apapun itu, semangat Rahul, semoga nanti apapun yang ditakuti bisa dilalui dengan baik, duuh aku emang nggak jago menulis semangat, semoga tidak terlihat seperti basa basi dan maksudnya sampai.
Tulisan Aina itu benar-benar dalam mengupas hal ini dalam perspektif anak sulung perempuan. Saya suka tulisan-tulisan Aina.
DeleteHa ha ha. Semangatnya tetap sampai kak Sovia, energinya sampai 😁
Produktif sekali Anda, saya jadi iri.
ReplyDeleteSaya pengen belajar podcast 😅
DeleteHmm, saya anak pertama juga. Kayaknya enggak bisa menjadi contoh yang baik bagi adiknya. Pada masanya saya mungkin berusaha bisa, tapi kenyataan dalam hidup sering kali kejam dan begitulah. Merasa gagal sebagai anak pertama. Ketika banyak anak pertama yang jadi tulang punggung keluarga, saya boro-boro.
ReplyDeleteBagusnya ibu saya memaklumi. Saya sudah bisa cari uang sendiri aja bagus. Meski ujungnya gagal, pernah juga biayain kuliah sendiri.
Sialnya lagi, era pandemi ini kian tak tertebak. Saya berasa di situasi yang entah kenapa justru menjadi beban. Mestinya bisa bantu-bantu. Ini buat diri sendiri aja kebingungan.
Kalau tanggung jawab kecil semacam cuci piring bekas makan sih udah jelas biasa dilakuin. Cuci pakaian sekaligus jemurin juga sendiri. Yang paling saya malas palingan menyetrika baju. Gerah soalnya. Haha. Jadi kadang suka digosokin Nyokap.
Tanpa perlu menyebut kesalahan apa yang saya lakukan, saya nyatanya bukan contoh yang baik juga. Saya memarahi adik saya dalam segala keburukan, tapi tidak semua hal yang saya larang bisa saya hindari. Sebagai kakak dan sulung, setidaknya saya bisa mengambil sedikit peran orangtua ketika mereka jauh
Deletesetuju kalau tanggung jawab memang harusnya dibiasakan dari sedini mungkin ya. aku anak pertama juga dan aku kok lupa ingat apakah waktu kecil dulu pernah dibanding-bandingkan dengan sodara atau adik sendiri, kayaknya nggak pernah
ReplyDeletehal kecil seperti cuci piring tadi mengingatkanku sama adikku yang kecil. kadang aku aja sebel liat dia habis makan dibiarin gitu aja, padahal udah SMA lho, jadi aku merasa dia yang udah segede itu masih belum ada pemikiran tanggung jawab ke hal hal kecil seperti ini.
semangat terus mas rahul, aku juga berproses untuk jadi manusia yang lebih baik dari sekarang
Lama-lama adik kak Ainun juga akan ngerti konsep hak dan kewajiban. Sering-sering saja dikasih tau.
DeleteAamiin kak Ainun, Aamiin.