zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Sulit Jadi Manusia

Saat sayembara Creameno's Paid Guest Post, saya mengikutsertakan empat tulisan. Terlihat maruk memang. Dari keempat tulisan, terbagi menjadi dua tema besar. Yang pertama adalah masalah tanggung jawab dan struggle tiap individu dan yang kedua adalah tiga tulisan yang dipayungi oleh tema besar: manusia dan prinsipnya.

Sulitnya Jadi Manusia
sumber: bocawatch

Saya sudah mewanti-wanti agar tiga tulisan ini punya tema yang cukup universal meski terlihat sangat spesifik. Maka dari itu, saya membaginya menjadi tiga tulisan berbeda. Selain karena simpel, pada waktu itu saya juga kesulitan menemukan judul. Meski begitu, dari keempat tulisan yang saya kirim hanya satu yang lolos seleksi. Makanya, biar tidak menjadi tumpukan tulisan di laptop, dengan ijin kak Eno, saya akan berbagi sudut pandang tersebut.

Tulisan yang saya kirim, tidak saya edit kembali. Jadi, ini adalah tulisan asli saat saya mengirim ke email Creameno. Untuk tulisan yang lolos seleksi, mudah-mudahan ada waktu biar saya bisa publish saat waktunya tiba. Semoga bermanfaat, jika tidak, manfaatkan.

Netral atau Independen

Beberapa waktu belakang, saya selalu bertanya dalam diri saya: “apakah  saya sudah netral selama ini?”

Pertanyaan itu terus terngiang dikepala. Sebab saya merasa, seseorang harusnya netral pada sesuatu. Misalnya, Mama melerai saya dan adik yang sedang bertengkar masalah remot teve. Jika Mama saya Netral, seharusnya ia bertanya,”tadi sore, yang nonton siapa?” atau “kemarin yang nonton siapa?”

Dengan begitu, Mama saya akan memberi solusi yang baik bagi semua pihak. Namun Mama saya pasti akan berkata,”kasih saja adik kamu, nanti dia nangis.”. Dengan anggapan pemikiran saya sudah jauh lebih dewasa dan bisa mengerti. Itu adalah konsep keadilan bagi seorang Mama.

Hal itulah yang kemudian saya terapkan dalam bersikap. Entah itu di kehidupan nyata atau di dunia maya. Saya mencoba untuk senetral mungkin pada sesuatu. Misalnya ada sebuah isu yang sedang hangat, alih-alih menyudutkan satu pihak saya malah lebih fokus ke argumen kedua pihak. Melihat dari tengah, apakah masih ada warna abu-abu di sana. Kemudian mencari jalan tengah agar yang bisa saya iris.

Tahun kemarin adalah tahun pertama saya melaksanakan pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan walikota. Untuk seorang remaja yang baru dapat hak pilih, ini tentu sangat dadakan. Beberapa minggu sebelum melakukan pemilihan, saya harus tanya-tanya ke orang-orang yang sudah pernah memilih dan tentu punya pengalaman memilih. Bertanya tata cara pencoblosan. Mana yang harus dilakukan, mana yang tidak.

Seperti pemilu pada umumnya, ada saja kampanye gelap yang terjadi. Istilahnya serangan fajar. Seseorang datang mengetuk pintu, membawa sembako atau uang tunai dengan poster caleg yang dia dukung. Tanpa aba-aba dan perintah, kita sama-sama paham itu adalah sogokan.

Karena dapat bagian, saya berpikir keras dalam beberapa hari sebelum pemilu. Uangnya masih ada, belum saya buka dari amplopnya. Waktu itu, saya masih kuliah semester awal. Pertemanan untuk ngobrol hal seprivasi itu belum ada dalam circle kampus. Saya cari-cari artikel, mendengarkan banyak podcast, menonton banyak video YouTube. Hingga akhirnya, saya sampai pada satu akumulasi pemikiran.

Saya tetap mengambil uang yang diberikan, saya tetap menerima uang yang datang. Tapi saya tidak memilih caleg atas dasar pemberian uang. Saya menganggap itu hanya pemberian uang jajan dengan anggapan hak pilih saya tidak dibeli. Beberapa orang sudah mengingatkan,”ingat, nomor urutnya.”. Saya tidak menjawab, hanya tersenyum agar dikira setuju. Hingga pada beberapa minggu setelahnya, kami ngobrol bareng teman kampus sambil main kartu remi di kosannya.

Ada teman yang menerima uang sogokan dengan bentuk transportasi ke kampung, ada yang menerima berupa uang tunai, ataupun sembako. Intinya, hampir semua teman saya dapat. Saya bercerita dalam lingkaran obrolan kartu remi tersebut, dan menganggap hal ini yang terbaik yang bisa saya lakukan. Tidak menolak dan dapat uang, tapi tidak mengangguk dan memilih nama atas dasar perintah siapapun.

Apakah ini artinya saya tidak amanah? Saya tidak berpikir begitu. Saya tidak meminta, saya diberi meski dengan amanah yang buruk. Dan uang tersebut tentu saja dari sumber yang buruk. Ada hal yang tidak bisa saya katakan untuk berkata tidak. Tentu saja itu melibatkan banyak pihak. Saya hanya berpikir bagaimana agar suara saya tidak dibeli. Apakah saya akan menghindari nama caleg tersebut? Tentu tidak. Saya akan lebih sulit tentu saja. Karena saya harus mencari rekam jejak semua atau sebagian caleg. Sejauh mana saya mendapat informasi adalah sejauh mana saya mencari, dan itu tentu saja sangat subjektif. Saya tidak tahu, seberapa objektif berita yang ada di internet. Seberapa subjektif media memberitakan sesuatu yang menyangkut itu.

Ini bukan soal pemilu. Ini soal perjalanan menjadi netral. Hingga saat belum adanya penentuan hasil voting, saya tidak membuka hak suara saya kepada teman bahkan keluarga sendiri. Obrolan tentang politik di keluarga saat itu sedang hangat-hangatnya. Seperti yang kita tahu, orangtua lebih sering terkena bias sosial media, apalagi grup whatsapp. Tapi tetap berlaku juga dengan saya. Menghindari bias, saya memfollow kedua calon presiden di sosial media, mengikuti setiap berita, mengikuti setiap debat yang cukup lucu. Itu agar saya menjadi objektif dalam memilih.

Sama ketika pemilihan perangkat di kampus, saya tidak memilih berdasarkan calonnya dari jurusan saya. Saya tidak tahu banyak latar belakang mereka dan menjadi golput adalah pilihan terbaik saat itu. Saya tidak mendukung pilihan golput, tapi tidak ada masalah dengan itu. Apakah ini seserius itu? Iya. Tidak mengumbar hak suara bukan berarti kita tidak bisa bersuara.

Karena telah merasa netral, saya akhirnya bangga. Bangga bisa menjadi media diskusi yang netral bagi teman dan keluarga saya. Hingga pada suatu saat, saya mendengar pernyataan dari Mbak Najwa Shihab: “Saya Independen. Netral dan Independen itu berbeda. Netral artinya tidak memihak, Independen adalah memihak pada yang benar.”

Saya terdiam beberapa saat. Pertanyaan baru menghiasi kepala saya: “Apakah yang selama ini yang saya lakukan salah?”, “Apakah saya netral atau independen selama ini?”. Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala. Sebab ini bukan perkara pemilu. Lebih jauh dari itu, ini adalah beban moral saya sebagai manusia.

Saat demo RUU KUHP kemarin, salah dua dari mahasiswa Universitas saya meninggal dunia saat ikut melakukan aksi unjuk rasa di jalan. Pertanyaannya, apakah saya akan ikut turun ke jalan? apakah saya akan diam di rumah? Atau ikut bergerak dari pemikiran dan hal yang lain?

Masalahnya bukan soal pemilu, hanya kebetulan pembahasan yang paling baru dan relevan adalah itu. Saya termasuk orang yang percaya bahwa siapapun yang terpilih, Jokowi maupun Prabowo saya tetap akan jadi mahasiswa yang bayar UKT setiap semester. Bapak saya masih akan kerja, Mama saya masih akan memasak, Tante saya masih akan menjaga warung. Tidak ada yang berubah.

Setelah merenung dengan cukup lama, saya sampai pada satu pemikiran. Saya tidak lagi orang yang netral seperti dulu. Saya akan menjadi Independen, sebisa dan semampu saya dalam melihat situasi. Ini mungkin bukan pilihan terbaik, tapi saya menganggap ini proses dari cara saya berpikir dan bertindak. Bukan karena seseorang, bukan karena sesuatu, tapi dari hasil dari akumulasi informasi dan pemikiran yang saya kumpul sebagai kliping bernama: pola pikir.

Filter Gelembung Bias

Percaya atau tidak, kita semua bias. Sebab apapun yang kita percaya adalah kebenaran yang kita yakini. Contoh kecilnya, kita pasti punya teman yang kalau ngobrolin anime bisa ngomong panjang-lebar. Dia tahu semua jenis, judul, dan bahkan karakternya. Pada sisi bersebrangan, kita pasti punya satu teman yang kalau ngomongin otomotif itu bisa nyebut nama-nama spare part yang asing ditelinga kita. Ketika dua orang ini ngobrol, yang senang anime akan merasa pembahasan anime akan jauh lebih seru, dan yang senang otomotif akan merasa pembahasan akan jauh lebih seru kalau ngobrolin otomotif.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa keluar dari gelembung bias itu sendiri?

Sederhananya, informasi yang kita baca dan lihat adalah sesuatu yang sifatnya bias. Agar tidak bias, kita mesti menyerap beragam informasi dari berbagai sudut pandang. Makanya, saya kadang suka bilang bahwa lihatlah orang dari argumen, bukan opini.

Informasi yang kita dapat dari internet, kebanyakan dari sosial media. Dan, yang mesti kita sadar adalah sosial media mendukung bias kita. Segala bentuk informasi yang kita cari, kita senangi, akan lebih banyak disodorkan untuk waktu-waktu berikutnya. Kalo ini, biasa kita kenal dengan algoritma media sosial. Tidak percaya? Coba buka YouTube kalian. Lihat, video-video apa saja yang tampil dalam beranda YouTube kalian. Saya cukup yakin adalah video-video yang sebelumnya kalian tonton, video-video sejenis yang kalian tonton. Misalnya, kita senang dengan video mukbang atau asmr. YouTube melihat itu sebagai sebuah peluang agar kita lebih lama di lapak mereka. YouTube terus menyodorkan video sejenis.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan orang yang tidak menggunakan sosial media?

Sama saja. Kita bisa ragu dengan beberapa pilihan. 1) ia tidak bersosial media, tapi banyak baca berita, atau 2) ia tidak bersosial media, tapi enggan baca berita, atau mungkin 3) ia tidak bersosial media dan tak peduli juga. No. 3 bisa saja positif atau negatif, tergantung dimana ia berdiri. Jika sudah begini, kita bisa meraba orang-orang di sekeliling kita. Mana dari mereka, yang tak bersosial media tapi rajin baca berita, tidak, atau bahkan tidak peduli. Kecil kemungkinan menemukan menemukan orang tanpa sosial media. Bahkan orangtua yang sudah terseret waktu dan jaman, masih mencoba mengenggam tali tersebut (meski terseret-seret).

Berbicara masalah orangtua, ada banyak penelitian menarik soal kenapa kerap kali terdapat anggota keluarga yang selalu menyebarkan spam. Baik itu berita benar ataupun hoax. Ada satu yang menarik. Katanya, ini berkaitan dengan umur dan era mereka. Terbiasa dengan informasi yang dalam tanda kutip akurat lewat media televisi dan koran, mereka mengadaptasi itu pada sosial media yang mereka punya. Segala hal yang ada di depan mata mereka, dipercayai sebagai sebuah kebenaran absolut. Dan, menjadi serba salah ketika kita mengerti. Problemnya, bagaimana memberi tahu mereka tanpa menjadi batu?

Perdebatan hoax dan post truth juga masih hangat diperbicangkan. Yang paling sering adalah bagaimana membedakan hoax dan post truth. Saya akan mengatakan solusi dari akumulasi jawaban yang saya cerna. 1) Selalu research. Seperti yang sudah-sudah, kendala kita sebagai individu adalah mem-verifikasi informasi yang sudah kita terima. Kita terlalu malas melakukan itu. Bahkan, ada satu peristiwa di grup WhatsApp saya seperti ini.

Sebut saja Mawar, ia mengirim sebuah informasi diikuti pertanyaan "dimana kejadiannya ini? saya mau story tapi takut ditanya". Story gaes! Kita lebih takut, dikira menyebar berita yang tak pasti benar daripada benar-benar takut menyebar berita yang tak pasti benar.

Kecenderungan ini karena apa? Karena kita bias. Kita hanya mau tahu dengan apa yang ingin kita yakini. Seolah-olah, kita ingin terlihat keren dan banyak tau dari berita yang kita sebar. Sehingga, argumen lain yang sebenarnya bisa menyeimbangkan bias kita jadi terblock oleh ego kita sendiri.

2) Penyangkalan. Yap! Setelah berhasil menemukan berita yang kita yakini, kita akan membagikan di segala media sosial kita. Dengan atensi,"Hey, lihat nih! Benar kan, apa saya bilang."

Ketika argumen lain masuk, tidak ada yang bisa kita terima. Karena kita sudah menjadi orang yang sangat bias. Padahal, informasi itu kan tidak selalu stagnan. Ia akan berubah seiring waktu berjalan. Bisa saja apa yang kita dulu kita yakini benar, memang benar. Tapi seiring waktu, informasi tersebut sudah tak lagi relevan.

3) Asal lihat judul, bagi! Masih berkaitan dengan poin pertama, sebagai individu kita terlalu malas mem-verifikasi informasi. Jadinya, kita bisa menilai suatu argumen hanya dari judul semata. Padahal, media berita daring memang seperti itu. Karena salah satu penghasilannya dari hasil klik, judul harus bombastis, fenomenal, dan klikable. Istilahnya clickbait lah. Yang mudah-mudahan, informasi didalamnya juga valid, dan tidak jauh dari atensi judulnya.

Sejak masa pandemi ini, kita sudah menerima banyak informasi. Mulai yang menyedihkan, lucu, sampai mengharukan. Jika lupa, biar saya ingatkan. Mungkin, kita pernah ikut andil dari tiga informasi teratas: 1) telur dan bayi bicara, 2) makan bawang dan jahe cegah covid-19, 3) konspirasi perang dunia III.

Bagaimana ini terjadi? Entahlah, kita semua bias dan dipaksa untuk siap.

Menjadi Manusia, Melakukan Diskusi

Saat ini, saya masih manusia. Opini yang keluar dari kepala yang disampaikan oleh mulut atau tulisan saya bukan kebenaran absolut. Untuk itu, saya senang diskusi tentang topik yang menarik bagi saya. Itulah sebabnya ada yang namanya blogwalking dalam dunia blog. Bukan hanya sekadar mampir ke blog seseorang, baca satu-tiga paragraf kemudian komen biar terlihat komen.

Harapan saya, kolom komen dalam setiap pos adalah jembatan dari diskusi yang menarik. Dari sana, opini yang ada dalam tulisan bisa didiskusikan. Entah kita setuju atau tidak, seharusnya empunya blog menyambut itu dengan hati yang gembira. Sebab, ada titik keraguan dalam diri pembaca. Mereka benar-benar tertarik dengan topik yang kita angkat.

Inilah yang saya maksud, selalu simpan titik keraguan untuk semua hal yang kita temukan. Jangan percaya sepenuhnya dengan opini saya, bisa jadi itu hanya bias saya. Jadilah manusia yang kritis dengan melihat itu sebagai sebuah diskusi menarik, bukan hanya dengan atensi agar terlihat pintar dari yang lain. Buka ruang diskusi dengan tidak menyudutkan pihak yang lain.

Menjadi manusia, seharusnya berdiskusi. Saya percaya, diskusi yang menarik lahir dari argumen yang berbeda. Jika ada dua argumen sejalan, diskusinya akan lempeng saja. Beda cerita kalau dua argumen tersebut berbeda. Tidak menutup kemungkinan jika kedua argumen tersebut nantinya akan saling melengkapi, hingga membentuk satu argumen utuh dari argumen yang berbeda.

Kita boleh mendengarkan semua opini, tapi jangan langsung percaya. Kalau kata Pandji, jangan menjadi orang yang opininya terbentuk dari satu-dua tweet saja. Selalu research, perdalam informasi karena yang ngomongin sesuatu belum tentu benar. Semua orang bebas beropini, tapi kita juga bebas untuk tidak mempercayai. Saringannya ada ditangan kita masing-masing.

Saya punya satu cerita tentang seorang anak yang bertanya kepada gurunya,”Bu, kenapa kita membaca?” saat gurunya selesai menjelaskan bahwa setiap kita membaca hanya 1% dari keseluruhan isi buku yang kita mengerti. Guru tersebut tidak menjawab, tapi memberi tugas kepada anak tersebut untuk menimba air dari sungai ke belakang rumahnya.

Saat datang, murid tersebut terkejut karena wadah yang digunakan untuk memindahkan air adalah sebuah saringan bekas yang sudah berkarat. Guru tersebut hanya menegaskan untuk melaksanakan perintahnya. Anak tersebut menurut dan memindahkan air sungai ke dalam ember yang sudah disediakan. Selang beberapa jam, ember tersebut hanya terisi sedikit dari air yang masih tertinggal pada sela-sela saringan tersebut.

Murid tersebut menghampiri gurunya,”Ini mustahil!”

Guru tersebut meminta saringan yang digunakan murid tersebut. Ia tersenyum,”lihatlah,” guru tersebut menunjukkan saringan yang digunakan murid tersebut. Saringan tersebut menjadi bersih dan karatan mulai terkikis.

“Ibaratnya, air itu ilmu dan informasi. Saringan ini,..” kata guru tersebut,”adalah otak kita. Mungkin dengan membaca tidak akan membuat kita lebih paham, tapi dengan membaca kita sudah mengasah otak kita agar terus berpikir. Agar terus bersih dan tidak berkarat seperti saringan ini.”

---

Begitu juga dengan bias dan diskusi. Diskusi yang menarik harusnya lahir dari argumen yang berbeda. Tidak serta-merta langsung percaya dengan satu hal. Bias menjadikan kita sebagai manusia yang berkarat. Dengan keluar dari bias, kita bisa membersihkan pikiran kita dari karat yang menempel. Kita bukan hanya manusia yang bilang,”saya open minded", tapi ketika ada opini yang bersebrangan dari temannya langsung lost contact.

Kita ini manusia, pasti salah. Mendengarkan opini dari orang yang tepat adalah salah satu solusi, namun diskusi adalah hal yang perlu. Satu hal yang pasti, setiap orang bisa beropini, tapi tidak semua orang kompeten beropini.

Related Posts

20 comments

  1. Pada dasarnya semua orang memang bias, apapun yang kita percaya adalah kebenaran yang kita yakini, saya setuju sekali dengan ini Rahul. Apa yg saya tulis di blog saya pun kebanyakan berasal murni dari sudut pandang saya dan apa yg saya yakini, meski dimulai dengan observasi dan riset, pun pada akhirnya kita harus bisa mengakumulasikan fakta, data atau hasil dari observasi itu menurut perspektif masing-masing, meski ini tujuannya jelas lebih baik: agar bisa menghindari bias.

    Saya sering diskusi dan berbeda pandangan sama teman satu circle, dan bersyukur sekali perdebatan itu nyatanya cukup hanya terjadi di "table". Sebab saya lebih menghargai pertemanan yg berwarna dengan diskusi, bukan berwarna sama gosip kayak bu Tejo😂. Kurang lebih sama seperti apa yg dibilang Rahul di atas, kalau diskusi cuma betul betul kayak Ipin aja gak ada bumbu, monoton dan bisa jadi kita selamanya terkukung dalam egoisme akan perspektif pribadi. Ini sama saja dengan orang yg mengaku open-minded, tapi pikirannya hanya sebatas terbuka untuk melihat hal-hal yg baru, bukan terbuka dengan menerima akan adanya argumentasi lain yg bisa mendukung atau membantah opini dia, dan bahkan gak menyadari perihal adanya bias.

    Keren pokok'e tulisannya! Dari perkara pemilu, ternyata bisa mengubah pandangan kita terhadap menjadi netral atau independen, atau simply menjadi manusia yg berpikir.👍🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salah satu alasan saya membuat halaman disclaimer adalah mencegah adanya hal-hal diluar dari kuasa saya. Saya memang mengerti, dalam beberapa hal tidak cukup berkompeten bicara sesuatu. Tapi ketika sudah bicara blog sendiri, artinya semua orang bebas mau ngomongin apa saja. Filter dan beban moral yah urusan masing-masing saja.

      Kalau masalah diskusi, saya mah senyamannya saya saja. Kadang, ada satu momen kami (saya dan teman kampus) ngomongin hal serius. Kadang juga ngomongin hal-hal remeh buat bahan ketawaan saja. Tidak menutup kemungkinan, kami bisa ngobrolin dari hal serius-remeh-serius-remeh karena memang jika obrolan sudah bergulir dengan orang yang tepat, apa saja bisa dimakan.

      Iya, Aina. Pemilu 2019 kemarin betul-betul adalah momentum bagi pemikiran ini.

      Delete
  2. Aku suka kalimat terakhir yang ditulis "setiap orang bisa beropini tapi tidak semua orang kompeten beropini". Banyak orang senang mengungkapkan opini tapi ketika diskusi dimulai dan ditemukan opini yang berbeda, mulailah debat dan perasaan tidak terima, serta ingin menang sendiri. Padahal, perbedaan itu yang menyatukan. Kalau semuanya sama, apa serunya hidup ini? 😅

    Aku salut sama Rahul yang meskipun udah kena serangan fajar tapi tetap memegang prinsip hidup untuk memilih yang memang diinginkan dari hati Rahul 👍🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saat ini, kalau menemukan satu opini yang cukup berbeda, saya mesti dengar atau lihat dulu argumennya. Saya berusaha untuk tidak membenci orangnya, walaupun opini dan argumennya tidak saya senangi. Sampai ketika opini dan argumen saya tidak sejalan, intinya saya sudah menangkap maksudnya. Dan itu tidak masalah selama tidak menganggu saya secara personal, keluarga, atau bahkan kerabat.

      Saya mah menganggap ini sikap yang paling baik dari apa yang bisa saya ambil. Mungkin ada yang bisa lebih, saya tidak. Saya juga masih manusia kak Lia

      Delete
  3. Setelah baca ini mau nggak mau saya berpikir, kalau tulisan di blog saya semuanya bias. Meski betul kata Awl, saya harus melakukan beberapa riset dan pandangan lainnya, tapi pada akhirnya saya pasti akan berpihak pada pilihan tertentu.

    Saya mengakui diri ini nggak kompeten dalam beropini. Saya cepat sekali menilai orang lain berdasarkan opini mereka yang saya anggap tidak sejalan dengan pikiran sendiri. Makanya, saya selalu menghindari perdebatan 😅 tapi ketika bertemu dengan pasangan, saya perlahan berlatih menjadi orang yang lebih kritis dalam menerima dan mengungkapkan pendapat. Kita memang nggak harus selalu setuju dengan opini orang lain, namun kita cukup mengakui bahwa setiap orang pasti memiliki perspektif yang berbeda dan itu nggak apa-apa.

    Komentar ini aja saya ketik dan menekan "backspace" entah berapa kali karena penuh keraguan hahaha tapi setidaknya saya mau terima kasih kalau Mas Rahul sudah menulis ini dan mengizinkan saya untuk mencoba diskusi di kolom komentar ini (:

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak masalah kak Jane untuk memihak. Saya juga tidak pernah mempersamalahkan hal itu. Poinnya, saya berusaha untuk independen tanpa menghakimi opini dan argumen orang lain.

      Untuk masalah ini, saya selalu bilang untuk menilai orang bukan dari opininya tapi argumennya. Berani bilang tidak adalah langkah yang cukup baik. Nah, yang itu juga penting: sadar bahwa kita dilahirkan secara berbeda.

      Saya turut senang dengan argumen kak Jane dan teman-teman yang lain. Semua punya cara dan proses berpikir yang berbeda. Ketika saya bilang ini, belum tentu saya akan tetap begitu seterusnya. Saya cuma mencatat agar sewaktu-waktu tak lupa

      Delete
  4. Saya pernah berada di posisi di atas, di mana segala sesuatu itu selalu saya pikirkan sampai tak terjawab, agar intinya itu ketemu.
    Mungkin itulah yang dinamakan idealis.

    Hasilnya, saya stres bahkan depresi hahaha.

    Tapi, seiring waktu, saya maklum sih, pola pikir manusia memang gitu.
    Ada saat kita benar-benar memikirkan mengapa begini, mengapa begitu.

    Sampai akhirnya kita jadi orang tua, dan idealisme tersebut mau nggak mau harus kita tinggalkan, karena hidup udah berubah, tanggung jawab menjadi orang tua itu nggak bisa lagi dijalani dengan idealis, karena anak-anak (bahkan sebagian orang, masih ada tambahan keluarga besar) bergantung di kita.

    Itulah kenapa, misal saat seorang ibu melerai anaknya yang rebutan sesuatu, saya rasa zaman sekarang udah banyak ibu yang mengerti konsep adil, akan tetapi sikon lah yang akhirnya berkuasa, sehingga hanya sedikit ibu yang bisa konsisten menerapkan hal tersebut, yaitu meski adik bukan berarti dia menang terus, dan meski kakak, bukan berarti dia ngalah terus.

    Ini sama dengan keadaan politik.
    Kita bisa lihat dengan jelas, bagaimana orang-orang yang duduk di lembaga legislatif sekarang itu, dulunya mereka-mereka itu adalah generasi pembela keadilan, yang suka turun di jalan membela nasib orang kecil.

    Setelah duduk di pemerintahan, banyak yang terlihat seolah lupa dengan awal perjuangannya dulu.

    Tapi hanya sedikit yang mau berpikir, kalau mengurus kepentingan orang banyak itu, tidak sekotak pikiran kita.
    Apa yang idealis yang kita pikirkan, tidak bisa diterapkan di semua orang dan kondisi.

    Begitu kira-kira :)
    Oh ya, dan saya setuju banget, setiap orang berhak mengeluarkan opini, dan berkewajiban menerima opini orang, tidak memaksakan opininya benar, kecuali ada UU nya hehehehe :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan kak Rey. Itu namanya manusia.

      Sebenar-benarnya, poin saya adalah semua orang bebas beropini meski tak kompeten beropini, semua orang bebas mau menerima atau tidak. Filternya ada pada diri masing-masing. Tapi, selagi orang itu menutup diri atas argumen orang lain, bias akan melekat dan mengeras pada dirinya.

      Delete
  5. Aku juga tipe yg masiiih sangat bias sbnrnya. Bahkan dalam hal kecil di lingkup keluarga, aku srg ga adil terhadap anak2. Hanya Krn males liat pertengkaran mereka sih :(.

    Jadi sedikit malu setelah baca ini mas. Lgs mengakui dalam hati, kdg akupun ga bisa trima kalo temen2 ada yg berbeda pendapat, dan memilih utk unfriend drpd terganggu Ama status opininya. Eh tapi yg tipe gini, baru aku unfriend kalo opininya disampaikan dengan memaki dan menjelek2kan pihak lain ya. Aku lebih respect kalo dia bisa menyampaikan opini berbeda tanpa harus menjatuhkan yg lain. Karena berhadapan dengan org begini, biasanya ga bakal ketemu titik terang selain ujung2nya makin ribut dan berantem :p.

    Tahun lalu sebelum pemilu, aku balik ke Medan, dan akhirnya terlibat debat Ama seluruh keluarga . Sbnrnya dr dulu aku tipe penganut luber kalo menyangkut pemilu. Zaman dulu ini jadi hal yg rahasia dan ga mau di bahas, kenapa skr malah saling ejek2an, maksa dan musuhi orang yg ga sepaham. Trnyata aku 1-1 nya yg bertolak belakang pilihannya dgn keluargaku. Lgs kayak disidang mas, disuruh utk ganti pilihanku pas pemilu Krn alasan BLA BLA BLA... Aku berharap bisa kayak kamu yg hanya senyum dan mengangguk, padahal dlm hati tetep memilih pilihan hatimu :D.

    Aku terlalu emosi sepertinya. Krn diserang Ama semua, aku lgs defensif dan ujug2 bertengkar dengan papa, mama dan adek2ku. Aku lgs ngepak koper dan pgn secepetnya balik JKT malah. Agak nyesel sih skr, sejak itu aku ga prnh balik LG k Medan, Krn pandemi juga sih.

    Aku pgn LBH bisa santai dan tidak emosi kalo didebat. Itu jujurnya blm aku kuasai. Mungkin Krn itu juga, aku menghindari perdebatan :(.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya menulis ini bukan untuk menyerang orang yang tidak sejalan dengan saya kak Fanny. Jika memang berpikir lebih baik tidak mendengarkan orang, tidak masalah. Ada banyak orang yang saya liat seperti itu. Ini hanya masalah prinsip.

      Sedih juga jika politik bisa membuat jarak hubungan yang lebih dari 10 tahun untuk periode 5 tahun.

      Delete
  6. Masalahnya terkadang lost contact ini muncul akibat dari perdebatan panjang yang ternyata si teman diskusi ini memang tidak berkompeten dalam beropini tapi merasa kompeten karena senioritas dalam hal usia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya, benci saja argumennya, orangnya jangan.

      Delete
  7. Saya malah takut beropini ya. Entah sejak kapan. Kayaknya waktu saya lulus sekolah dan kerja saya berusaha buat bersikap netral dalam menghadapi sesuatu atau melihat permasalahan teman-teman. Eh malah jadinya plin plan. Malah saya nggak bisa melihat sisi negatifnya dan menyalahkan diri sendiri. Atau nggak bisa menyalahkan siapapun
    Haduh...
    Masalah beropini masih jadi masalah buat saya sendiri. Padahal waktu sekolah saya sering nulis opini juga. Kalau sekarang mungkin beropini kalau lagi duduk sama bapaka aja. Itu juga nggak pernah serius....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya menulis ini bukan ajakan untuk beropini kak Astria. Tapi, kalau-kalau kak Astria punya kegelisahan, blog pribadi bisa jadi tujuan utama

      Delete
  8. Kalau bicara soal pilihan suara politik, saya termasuk yang nggak pernah ikutan membahas siapa pilihan saya pun saya nggak pernah kepo apa pilihan orang 😂 ditambah saya nggak join grup WA, jadi bisa terbebas dari perdebatan keluarga dan handai taulan mengenai pilihan politiknya. Plus saya bukan tipe yang interest duduk manis berjam-jam bahas politik sama rekan saya. Mungkin karena orang-orang sudah tau karakter saya, mereka jadi nggak berminat ajak saya bicara 😅

    Nah, soal bias, saya setuju, setiap dari kita pasti bias (namanya manusia). Mau nggak bias pun rasa-rasanya akan susah karena bias ini kan salah satu asal usulnya dari rasa interest pada suatu hal. Hehehehe 😂 namun begitu, saya tetap berusaha research sebanyak-banyaknya akan sesuatu yang saya suka, jadi nggak sekedar suka (bias) hanya karena satu dua tweet kalau kata mas Pandji di atas 😆 hehehe. Ngomong-ngomong, saya tipe yang jarang berdiskusi personal, mas. Lebih sering diskusi soal kerja, dan setiap kali ada momen diskusi personal / opini personal, saya prefer lihat sudut yang saya bisa agree instead of argue sama pemilik opininya 😁 mungkin karena saya sudah tuak, tenaga gampang habis kalau dipakai untuk argue sama orang 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya cukup beruntung untuk tidak masuk dalam grup WA keluarga. Setidaknya, ada tidak ada peluang untuk berdebat atau mendengar perdebatan sesama keluarga sendiri. Aneh juga, tidak masuk grup WA malah jadi privilege.

      Tidak masalah kak Eno. Atensi saya bukan untuk mengajak orang setuju atau sepaham dengan saya. Malah, itu membuktikan kak Eno punya pendirian atau prinsip yang tetap dipegang.

      Delete
  9. Hahahahahaha... senangg.... saya senanggg...

    Banyak bacaan kayak gini akan membuat hidup lebih seru. Pandangan anak muda dengan gayanya dalam menyikapi masalah "penting" yang banyak dihindari orang.

    Teruskan Mas Rahul... wakakakaka..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha ha, mungkin ini fase yang harus saya lewati dari proses berpikir. Mungkin kedepannya bisa berubah, saya juga tidak tahu, mas Anton

      Delete
  10. tersentil dengan perbedaan netral dan independen, sepertinya pengertian aku pun nggak begitu luas seperti apa kata najwa.
    aku setuju kalau tiap orang ada sisi biasnya dan dari sini juga sebenernya bisa membuat aku (contohnya) yang nggak ngerti akan hal/topik yang agak asing akan jadi tau informasi baru dan dapat pengetahuan baru juga. meskipun ada bumbu bumbu debatnya mungkin
    overall aku suka pemikiran rahul di tulisan ini, mungkin jarang aku nemuin orang yang berani menuliskan pemikiran dia seperti ini untuk yang seumuran dengan rahul

    ReplyDelete
  11. Setiap orang pasti bisa beropini tapi belum tentu setiap orang bisa memberikan argumen dari opininya bisa saja ketika opininya ditentang dia kelabakan dengan opininya dan ujung-ujungnya hanya memakai egonya saja

    ReplyDelete
Terimakasih sudah membaca. Sila berkomentar terkait tulisan ini.