zsnr95ICNj2jnPcreqY9KBInEVewSAnK0XjnluSi

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi

Malam itu, tanggal 6 Juni ketika kami sudah berada di Pondok Kak Rijal. Rencana untuk beberapa hari kedepan adalah berburu burungeng. Burungeng adalah semacam siput air payau. Bisa dimakan dan enak. Meski kecil dan agak sulit untuk dimakan, tapi tidak mengurangi rasa penasaran kami.

Saat itu, PSBB sudah mulai dilonggarkan. Beberapa pusat perbelanjaan sudah beroperasi kembali. Kegiatan berjalan sebagaimana mestinya. Meski begitu, protokol tetap dilaksanakan. Salah satu yang paling kentara adalah penggunaan masker. Saya pikir baik, untuk kesadaran masing-masing individu.

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi

Di pondok, kami cuma berlima. Cukup untuk memenuhi satu kamar. Ada Ali, Ari, Riki, dan Rijal. Malam itu, kami datang dan bermain PES dari laptop. Ditemani gorengan dari Kak Rijal dan disusul oleh Mie Instan. Kami bermain cukup asik malam itu. Bermain satu atau dua kali cup, jika tak salah ingat.

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi

Saya bangun lebih awal dari yang lain. Pukul 7 lewat dan langsung ke kamar mandi. Setelah itu mengecek tugas kampus dan lain-lain. Setelah semua bangun, kami berembuk. Karena Kak Rijal ada urusan, kami membeli bahan hanya berempat. Tanpa mandi, kami hanya mencuci muka dan memanaskan motor. Dua motor saat itu. Saya bersama Ali, dan Riki bersama Ari.

Pemberhentian pertama kami adalah pasar. Pasar yang kami singgahi adalah Pasar Anduonohu. Kami memarkirkan motor tepat di samping pintu masuk pasar. Sudah ada beberapa motor yang dijejerkan pemarkir. Kami masuk dengan mulut tertutup seperti yang lain dan berjalan saling mengekor karena ukuran lorong pasar yang tidak begitu besar. Kami tiba di ujung tempat para penjual ikan, di sana tak ada burungeng. Kata salah satu penjual yang kami tanya, sudah habis dari tadi.

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi
Perjalanan berburu Burungeng

Kami berpikir sejenak sembari tetap berjalan. Kami memutar dan kembali membeli ikan. Itu adalah ikan commo-commo yang sekilo seharga 30 ribu. Di pangkal pasar, kami membeli sagu berukuran besar. Kemudian di ujung jalan membeli sayur.

Kami kembali mengambil motor dan bergegas menuju jalan by pass. Di sana, kami menemukan beberapa penjual di pinggir jalan. Ada banyak macam jenis siput yang dijual, Burungeng bukan salah satunya. Setelah berembuk lagi, kami memacu motor untuk mencari sekitar 2 kilometer. Hasilnya nihil. Dari banyaknya penjual, tidak ada Burungeng. Lagi-lagi katanya, habis. Saat ini memang musim burungeng. Dari grup jual-beli Facebook saja, sangat banyak tersebar penjual burungeng. Baik yang masih belum dan sudah dimasak.

Kami sudah terlanjur ngiler dengan beragam postingan grup Facebook. Tapi tak mau kembali tanpa membawa burungeng. Jadinya kami membeli jenis siput yang lain. Berbentuk kerang lebih tepatnya. Sebelum pulang, kami sempat membeli es kelapa muda. Di perjalanan pulang, benar-benar panas dan membuat kering tenggorokan.

Setelah sampai di Pondok, saya mandi saat yang lain menyiapkan makan siang. Karena tidak ada handuk, butuh waktu lama untuk menunggu badan kering. Celana dalam sudah dalam mode side b. Saya keluar ketika beberapa bahan sudah dikerjakan. Kerang sudah dicuci dan menunggu untuk naik ke kompor.

Kami bahu membahu menyiapkan semuanya. Kami bolak-balik untuk mengambil dan membeli bahan. Setelah kerang naik, itu adalah momen paling menggiurkan yang pernah ada. Apalagi saat santan sudah dituang. Aroma langsung menguap di udara. Mendatangi hidung kami masing-masing.

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi
Ini tampilan Kerang

Sebelum makan siap, Mama saya menelepon. Katanya, Rendy mau ke sana dan minta untuk dijemput. Saat itu, Ari bersedia untuk menjemput. Jadi kami hanya perlu menyelesaikan yang sudah hampir siap disajikan. Tidak butuh waktu lama, Ari datang bersama Rendy. Yang paling menyenangkan, Rendy datang membawa Burungeng. Kami riang gembira.

Saat itu, tinggal sinonggi yang belum jadi. Sinonggi ini semacam papeda kalau di Maluku dan Papua. Terbuat dari sagu yang disiram air panas hingga mengental. Kami menunggu air panas untuk menyiram sagu yang sudah kami siapkan. Tapi ketika sagu kami siram, hasilnya gagal dan tidak menjadi sinonggi seperti kami harapkan. Kak Rijal, menelepon temannya untuk memastikan kami tak salah dalam mengambil langkah. Ternyata, kami hanya perlu menaikkan sagu yang tidak jadi itu ke kompor dan terus mengaduk hingga mengental.

Kami bersiap dengan piring masing-masing. Kerang yang sudah siap kami cicipi dengan lombok yang sudah dibuat Kak Rijal. Ada dua macam. Yang pertama adalah lombok biasa untuk sinonggi, yang kedua adalah yang sudah diberi air untuk kerang. Perpaduan sinonggi, kerang, dan sinonggi adalah kesegaran tiada tara ditenggorokan. Air sayur yang membasahi permukaan piring membuat sinonggi lebih mudah untuk dipegang.

Dari kami berenam, hanya Ali yang tidak makan sinonggi. Katanya tak suka. Beberapa orang memang tak terbiasa dengan makanan ini. Keluarga di rumah, sepertinya hanya saya yang doyan. Yang lain hanya sekadar suka. Kebiasaan ini diturunkan oleh almarhum tante yang suka membuat sinonggi.

Sinonggi habis seketika. Yang lain menambah dengan nasi. Saya hanya menghabiskan kerang yang masih banyak. Kenyang semua, setelah itu kami membagi tugas. Ada yang mencuci piring, ada yang membersihkan, dan ada yang bersantai saja.

Sampai sore, yang kami lakukan hanya berdiam diri di kamar untuk bermain PES. Karena Kak Ali pergi ke Kampus dan Ali pergi bersama temannya, kami hanya berempat. Sore itu, tanpa kami harap penjual siomay lewat di depan kosan. Dengan bunyi dua kali, kami segera kesana. Ari 6rb, Riki 10rb, saya 10 rb, dan Rendy 20rb. Entah karena lapar atau tidak, tapi memang faktor bumbu adalah kunci utama.

Malamnya, Ali dan Rendy pulang karena satu dan lain hal. Tapi mereka kembali setelahnya. Kami makan Indomie malam itu dan menonton film. Karena nonton film, kami tidur agak malam dari kemarin. Lagi-lagi, saya bangun lebih awal. Kak Rijal sudah bersiap untuk ke Kampus. Sebelum yang lain bangun, saya lebih dulu menyiapkan draf tulisan yang akan dipublish.

Setelah semua bangun, kami menyiapkan makan siang sendiri. Tanpa Kak Rijal yang biasanya kami harapkan. Semua dikerjakan oleh kami, lebih tepatnya Ari. Kami hanya sebagai kaki-tangannya. Burungeng kemarin yang ada di kulkas, kami keluarkan dan cuci. Kami mengerjakan sendiri dengan improvisasi resep kemarin. Setelah kami menyiapkan bahan masakan, kami mulai dengan insting masing-masing.

"Kalo Kak Rijal kemarin serainya dilipat."
"Tidak ada bedanya."
"Oke, tumbuk!"

"Pakai santan kah?"
"Katanya tidak."
"Tapi kemarin pakai."
"Oke, tuang!"

Dengan bekal improvisasi, ternyata makan jadi juga dan (alhamdulillah) enak. Malah lebih enak dari kemarin. Kuahnya tidak mencurigakan untuk diseruput. Bedanya dengan kemarin, burungeng ini cara makannya agak unik. Burungeng diisap pada bagian lubang cangkangnya sampai dagingnya keluar. Kebanyakan orang makan dengan bagian ekornya yang berwarna hijau. Tapi saya membuangnya karena tidak begitu menyukainya.

Berburu Burungeng Ditengah Pandemi
Ini tampilan Burungeng

Meski lauk tidak sekomplit kemarin, tapi makanan tetap enak dan habis. Kami menyisihkan Kak Rijal satu tempat burungeng untuk ia makan setelah pulang. Makan siang itu bertahan sampai sore. Sebelum akhirnya Kak Rijal pulang dan ternyata sedang melaksanakan puasa syawal. Penjual siomay kemarin datang kembali. Beda dari kemarin, sore itu saya dan Ari memakai nasi.

Malamnya, kami membuat makan malam karena merasa lapar kembali. Ali yang pergi dari sore tadi, baru kembali saat kami sedang memasak. Kami memasak tiga atau empat bungkus Mie Instan. Dari kulkas Kak Rijal, kami mengambil dua butir telur agar rasanya makin nikmat.

Telur pertama sudah turun bersama Mi Instan yang diaduk. Kata Riki, cara ini bisa membuat kuah Mi menjadi lebih kental dan enak. Tapi saat telur kedua diturunkan, performa jatuhnya agak berbeda dari yang pertama. Saat saya mencium tangan yang sempat terkenal putih telur, ternyata telur tersebut busuk. Secara tidak langsung, itu membuat saya merasa mual.

Mi Instan tersebut akhirnya kami buang dan mengganti dengan yang baru. Dan sekalian membeli es batu dan Extra Joss. Kami makan dan kembali ke kamar. Malam itu, kami kembali menonton film. Bedanya, tema malam ini adalah horor.

Setelah bangun pagi, kami bersiap untuk pulang, seharusnya dari kemarin. Hanya karena Riki meminta ijin, kami akhirnya dapat jatah hari tambahan. Ditengah pandemi ini, kami memang cukup sering keluar. Susah untuk tidak menulis alasan atau disclaimer macam ini. Tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa kami berada pada satu tempat tertutup. Keluar untuk belanja juga memakai masker dan mandi setelah kembali.

Dari paragraf pertama, saya berusaha untuk tidak bersikap seperti orang-orang yang lain, yang mesti mencari pembuktian atau alasan untuk keluar rumah. Tapi saya juga tidak ingin apatis dan seolah-olah persetan dengan semua. Untuk membuat yang sedang membaca merasa gusar karena kelakuan kami. Semoga menjadi bijaksana dan gembira. Dan tentu saja agar segala hal yang berkaitan dengan pandemi ini cepat berlalu. Aamiin.

Related Posts

18 comments

  1. Wah, lewat post ini saya jadi tahu banyak menu makanan baru dari Sulawesi. Bahkan ini pertama kali saya lihat burungeng. Sepertinya di Jakarta sini nggak ada yang kayak gitu, atau mungkin saya yang mainnya kurang jauh 😂

    Sayang sekali itu mie instan di adegan terakhir, udah dimasak malah kena telur busuk. Emang ngeselin banget kalau kena kondisi kayak gini wkwkw
    Sekedar tips, waktu lagi pecahin telur, pecahinnya sedikit aja, lalu dicium dulu aromanya sebelum dituang ke rebusan. Jadi kalau lagi apes kena yang busuk, bisa langsung dibuang sebelum dimasukan ke rebusan 😁

    Ngomong-ngomong, nice post sekali! Sukses membuat saya lapar tengah malam gini huahahaha.

    Satu lagi, semoga pandemi ini segera berlalu biar kalau mau keluar nggak perlu pakai masker lagi ya, seperti dulu kala. Amin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin ada, tapi aksesnya yang sulit. Disini lagi musim, jadi yang jual juga cukup banyak.

      Iya, sayang sekali. Untung ada kucing dan ayam yang makan, jadi secara tidak langsung kami ngasih makan bukan buang.

      Tips ini sudah kami praktekkan pada percobaan kedua. Dan itu cukup efektif. Bicara pandemi, kita semua pasti mau yang terbaik. Aamiin.

      Delete
  2. Wahhh baru pertama kalinya ak melihat ini secara tidak langsung disini... Seperti kelihatannya sepertinya sangat enak sekali, apalagi disantap bersama dengan teman-teman lainnya secara ramai-ramai... Pengen nyicippp sekali kali dongg hihih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, enak nih. Kapan-kapan main ke sini atau tidak cari saja di pasar. Kemungkinan ada, tapi mungkin namanya saja yang berbeda tiap daerah

      Delete
  3. Syedeep bangeet tu kerang burunggengnya... Apalagi panas". Btw, sy sih awal"emng parno banget sm si corona, tpi udh kelamaan 3 bulan, sy kebetulan bukan dr jkrta sih, sekali" juga keluar, yg penting ikut protokol kesehatan sih, soale tetep di rumah kelamaan badan jg ringkih, jrg kena matahari, malah imun jg ngedrop,tpi asal ga kebablasan aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kami cukup waspada, Kak. Inipun keluar cuma untuk ke Pondok (ruangan tertutup) untuk bermain dan makan bersama

      Delete
  4. Oh burungeng itu sejenis siput air ya kang, tapi nyari di pasar juga susah ya. Apa karena lagi ada Corona apa memang sudah mulai langka burungeng?

    Kalo papeda disini banyak juga yang jual, tapi biasanya sagu dicampur telor puyuh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sejenis siput air, siput sawah, atau apalah namanya itu. Di tiap daerah namanya mungkin akan berbeda, tapi rasanya tetap enak.

      Setau saya, Papeda itu merujuk pada nama untuk daerah Maluku dan Papua. Kebetulan, disini namanya Sinonggi. Ada juga jenis lainnya, namanya Kapurung (tapi ini versi yang sudah tercampur dengan kuah).

      Delete
  5. Jadi kangen masa single ih, sayangnya waktu saya kuliah, meski ngekost tapi tidak seindah ini, bedanya laki sama perempuan itu gitu ya.
    Apalagi saya ngekos bareng orang-orang Jawa, jadi nggak pernah tuh kumpul-kumpul masak dan makan bareng, padahal ya ada dapur umumnya juga :D

    Btw saya tadi baca judulnya, kirain burung jenis apaaa gitu, ternyata siput.

    Dan setelah liat foto terakhir saya baru ngeh, itu mah memang enak bangeett, dulu saya sering makan, di Buton namanya Gosa (kalau nggak salah hahaha).

    Memang enak tuh, tapi lebih enak lagi kalau didiamin dulu, jadi kotorannya keluar, pas di masak nggak pahit.

    Dan saya kangen banget ih sama mudik.

    Saya juga suka sinonggi, seringnya saya sebut papeda sih, tapi nggak doyan-doyan amat, dan lebih suka makannya sendirian, soalnya agak-agak jijikan dengan penampilan si papeda itu, kek lem hahaha.

    Tapi memang kalau dirasakan enak sih, apalagi kalau disiram kuah ikan, masha Allaaahhh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung individunya sih, Mba. Teman cewek saya soalnya juga tapi heboh-heboh juga. Apalagi kalo malam Minggu, kita sering ke tempat mereka untuk makan dan main kartu bareng.

      Oh, di Buton, agak dekat tuh. Tapi saya baru tau nama Gosa itu. Tipsnya saya catat. He he he.

      Iya, beda tempat-beda nama aja. Tapi bentukan dan cara bikinnya mirip-mirip. Tapi kalo sudah doyan, pasti tidak akan berpikiran seperti itu, apalagi sudah ada kuahnya

      Delete
  6. Baca ini saya jadi kangen pas masa-masa jadi bocah petualang. Saya dulu hobi banget mancing sama nyama. Nah nyama itu semacam meraba di dalam air. Di tengah tanah di dalam air saya mencari kerang, persis pada foto itu. Asli dah kangen bener dengan masa itu :)

    ReplyDelete
  7. Pertama kali tahu dan liat burungeng. Diawal saya kira ini sejenis burung lokal ternyata siput air. Kalau di daerah Jawa Barat mungkin ini seperti tutut (keong sawah) rasanya terlanjut nikmat.

    Sebuah sarang receh, kalau tidak ada anduk bisa pakai kanebo bro, praktik tak makan tempat. Ini trik ane kalau lagi traveling dan malas bawa anduk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, awalnya saya mau nyebutnya tutut saja. Tapi biar otentik, saya pake burungeng saja. Biar orang tau ada nama lain di daerah tertentu

      Terimakasih sarannya

      Delete
  8. Wakakakka, hul...sama banget aku juga kadang males ngejelasin disclaimer pas masa pandemi waktu alasan keluarnya karena bla bla bla, capek wakkakak


    Tapi tetep aja kadang kutulis

    Wah...ini maratonan makan enak nih, mulai dari cari burungeng ga dapet, kerang, terus akhirnya dibawain burungeng, siomay, indomie, extra joss

    Seger amat yah...
    Tapi klo sebangsa siput2an aku ga doyan, aku lebih suka kerang hul, kerang dimasak bumbu sederhana uda enak ya, malah kadang cuma direbus pakai royco itu rasanya uda sip

    Bikin sinoggi ternyata lumayan challenging ya, tapi unik banget disantapnya pakai kerang, klo aku biasanya ama nasi dan sayur kangkung aja

    Btw serai mau digimanain tetep sama aja hul, entah dilipet, dicemplung atau digeprek dikit, tapi emang sih lebih berasa klo digeprek dikit gitu

    Btw jajan siomaynya banyak amat, 10 ribu klo tempatku uda bikin kenyang 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, tapi kayaknya postingan kebelakang sudah ngga perlu lagi deh, capek dan malas juga.

      Iya, menantangnya karena kita ngga tahu takarannya. Kita taroh sedikit, takut kurang. Kita siram banyak, takut kebanyakan. Tapi kita mah anaknya improvisme.

      Delete
  9. Hi, mas Rahul 😄

    Saya baca tulisan mas Rahul sambil membayangkan makanan-makanannya 🙈 kebetulan saya (mostly) belum pernah coba dan dengar kecuali Sinoggi yang pernah saya lihat di stories teman saya pas kebetulan dia share sedang buat menu tersebut di rumahnya 😆 bentuknya seperti lem lengket begitu bukan? Hihi ~

    Eniho siputnya looks delicious yah, apalagi pakai kuah santan (saya doyan banget makanan bersantan) 🤣 di Korea sendiri, siput juga salah satu menu makanan yang cukup diminati bagi sebagian orang. Tapi saya belum pernah punya kesempatan untuk coba 🙈

    On a side note, salut karena mas Rahul dan teman-teman yang kesemuanya lelaki ternyata jago masak 😍 keren!! 👍 hehehehe. PS: saya turut mengaminkan perihal corona, semoga segera hilang dan kita semua bisa kembali beraktivitas tanpa rasa takut dan sebagainya 😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Temannya dari daerah mana? Soalnya di daerah lain biasanya beda lagi namanya.

      Ha ha ha, jangan disalutin. Kami mah anaknya improvisme. Mungkin standar lidah kami saja yang culun, jadi ngerasa apa aja enak 😅

      Delete
Terimakasih sudah membaca. Sila berkomentar terkait tulisan ini.