Abaikan avaku |
- 1980
- Standart Release: Cinema, TV, dan Home Video,
- Simultan Release: In the same time,
- Straight to Video: Independent Film.
- 2000
- Internet Release: Available on Internet
- Bioskop/Cinema/Theatrical,
- Television/Pay TV/Satelite TV/IP TV,
- Digital Platform/Video on Demand/OTT.
Selanjutnya adalah pembahasan yang lebih advance terkait film. Tapi kita lewati saja yang itu. Intinya ada satu momen ketika sedang menjelaskan, Mas Ifa berkata,"seorang filmmaker harus paham distribusi sebab film itu adalah aset."
Mas Ifa menjelaskan masalah rasio yang berkaitan dengan distribusi. Bagaimana film itu akan didistribusikan akan mempengaruhi rasio filmnya. Kalau misalnya, hanya akan rilis di Bioskop, film bisa menerapkan pakem rasio film layar lebar pada umumnya. Namun berbeda dengan film yang akan di distribusikan pada platform streaming service. Rasio film harus mengikuri device laptop, smartphone, ataupun Smart TV.
Disamping rasio, Mas Ifa juga berkata bahwa distribusi mempengaruhi pace film. Maksudnya, dengan didistribusikannya film ke streaming service yang notabene penontonnya berada di lingkungan yang serba cepat, pace filmnya jua harus menyesuaikan. Artinya, Mas Ifa tidak bisa membuat suatu adegan dengan pace layaknya film festival yang mayoritas biasanya lambat dan penuh metafora.
Inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi saya bahwa,"apakah paham distribusi tidak menghambat kreativitas filmmaker?". Dalam hal ini, kita bisa menerapkan contoh general pada pembuat konten saja.
Dari jawaban Mas Ifa, saya menarik kesimpulan bahwa ternyata tidak serta-merta begitu. Dengan paham distribusi, seharusnya itu menjadikan filmmaker menjadi lebih kreatif. Dalam hal ini pembuat konten, misalnya. Waktu itu, saat Instagram hanya bisa upload video 15 detik. Apakah itu menghambat kreativitas pembuat konten? Tidak. Malah itu adalah era dimana Instagram mulai mengenal Vidgram.
Dari sini, kita bisa menarik garis panjang bahwa hadirnya platform baru tidak lantas membuat kreativitas menjadi terhambat. Malah itu bisa memacu kreatifitas untuk terus berjalan. Dengan adanya Instagram, kita bisa mempromosikan blog kita disana dengan visual yang bagus. Dengan adanya Twitter, kita bisa membuat utas yang akhirnya mengarah pada blog kita.
Meski saya jarang juga menerapkannya.
Ada satu pertanyaan menarik yang dijawab oleh Mas Ifa. Saya lupa mencatat detil pertanyaannya, tapi kurang lebih begini kata Mas Ifa,"200 penonton bioskop komersil dan 200 penonton festival itu beda valuenya.". Saya paham maksud Mas Ifa, meski saya melihat film hanya sebagai film. Tidak ada kategori festival dan komersil.
"Mayoritas harus menyesuaikan. Harus banyak pertimbangan untuk film bisa bertemu penontonnya.". Ini juga berkaitan bahwa setiap film atau konten, selalu menemukan penikmatnya. Tinggal bagaimana kita bisa melihat dan menerima itu.
Setuju banget mas 😆 semua akan menyesuaikan pada akhirnya. Karena kita as human ini fleksibel jadi akan mengikuti bagaimana aturan berlaku yang ada / dibuat 😁 so semisal ada aturan rasio, itu nggak akan membuat kita jadi berkurang kreatifitasnya, yang ada mungkin semakin bertambah karena jadi cari cara agar bisa tetap memberikan hasil maksimal 😂
ReplyDeleteMeski saya bukan insan perfilman tapi senang baca informasi yang mas bagikan, saya jadi sedikit paham akan hal-hal yang saya nggak tau sebelumnya 🙈
Saya juga ngga begitu paham, kak. Cuma tau kulit-kulitnya saja. 😁
DeleteItulah kenapa sampai sekarang saya masih jadi penikmat film, belum jadi filmmaker. Alias.. emang gak punya skill di bidang itu sih wkwk
ReplyDeleteBisa jadi pengulas film saja. Eh, tapi jadi penonton saja deng, nanti terlalu serius sampai ngga nikmatin filmnya. Eh? 😁
DeleteSepakat! Dengan adanya platform baru bukan membatasi gerak kita, tapi bisa membantu kita dalam berkreasi serta berinovasi. Kalo kata orang bagusnya semua platform dioptimalkan, misal tadi instagram bisa kita gunakan visualnya biar orang tertarik dgn blog kita. Begitu juga media sosial lainnya. Hanya saja kalau saya sekarang masih berfokus pada pengoptimalan blog. Pengen juga aktif di instagram, hem but saya sering merasa instagram terlalu glamour hihihi
ReplyDeleteAkhirnya blog menjadi pilihan platform yang paling 'aku' banget, alias apa adanya 😂
Instagram sebagai media visual memang bagi beberapa orang cukup merepotkan. Pelarian orang-orang ini pasti ke blog atau Twitter.
DeleteWacana seni paling klasik emang, high art vs low art, elitist vs mass culture, festival vs komersil. Tapi emang bener film festival mah bikin ngantuk, meski saya harus "pura2 suka" biar punya modal budaya. Makanya saya suka sutradara Korea, soalnya mereka jago banget bisa ngawinin antara yg high art tapi tetep diterima secara komersil.
ReplyDeleteDan wacana ini berlaku di mana aja, termasuk blog. Kangen juga bikin film lagi euy.
Korea memang the best sih. Lagi nunggu Peninsula, nih. Kabarnya kemarin masuk Cannes.
DeleteMemangnya pernah bikin blog film yah? Saya taunya cuma yang web lama
dengan perkembangan zaman, maka mau tidak mau bidang apapun juga mengikuti termasuk film
ReplyDeleteyang terpenting adalah tetap semangat untuk berkreasi dan tetap semangat menjalani pandemi ini
salam
Siaap
Deletehahahaha, itu di fotonya ada gambarnya si Tae Oh ya? hahahah.
ReplyDeleteSaya suka nonton film, asal yang bagus sih, dan sekarang sering nonton streaming *tutup muka hahahha.
Tapi selalu mastiin filmnya harus bagus sih, makanya kalau nonton sebelumnya saya browsing dulu cari sinopsis atau reviewnya :D
Bagi saya kehadiran platform baru bisa memantik kreatifitas, tapi bisa juga bikin frustasi. Maka dari itu di era sekarang kemampuan yang saya rasa sangat penting adalah mampu dan cepat beradaptasi. Pasalny laju inovasi teknologi begitu cepat.
ReplyDelete"Dari sini, kita bisa menarik garis panjang bahwa hadirnya platform baru tidak lantas membuat kreativitas menjadi terhambat. Malah itu bisa memacu kreatifitas untuk terus berjalan."
ReplyDeleteNah, setuju nih. Buktinya banyak banget konten2 baru yang fresh dari platform2 baru.
Btw, salam kenal :).