Pagi hari ketika Sang Kakek sedang memahat kayu, Edi keluar dengan sarung dileher. Sang Kakek menengok, lalu menggeleng kecil. Ia meneguk tehnya yang masih hangat sementara Edi menguap. Bau tidak sedap dari mulutnya menganggu cita rasa aroma teh.
“Di, coba kau nyalakan radio Kakek..”
“Ah, capek, Kek,” Edi memelas
Kakek
berhenti, lalu menengok Edi dengan tatapan masa-cucu-kakek-gitu. Edi sekejap berdiri. Semenjak orang tuanya ke luar kota, Edi dirawat oleh
kakeknya sejak umur tiga tahun. Sudah hampir sepuluh tahun, ketika orang tuanya pergi.
Banyak perkiraan dari warga setempat. Ada yang mengira orang tua Edi sudah kaya
dan tidak mau kembali. Ada juga yang bilang orang tua Edi sudah pasrah dan
tidak ada apa-apa untuk kembali. Yang paling miris dari kata warga, orang tua
Edi sudah meninggal.
Edi
pribadi tidak terlalu ingat bagaimana rasa sayang orang tua. Ia hanya tahu
wajah orang tuanya lewat foto hitam putih yang sudah hampir rusak. Setiap kali
ia rindu, ia pergi ke Kakeknya, lalu sang kakek merogoh dompet dan
memperlihatkan foto orang tuanya. Sang Kakek sebenarnya ingin memberi foto itu
ke Edi, tapi Sang Kakek belum yakin kepada Edi.
Edi
masuk kedalam, mengambil radio kesayangan mereka. Radio itu adalah salah satu
hiburan mereka. Setiap malam, mereka berebut antara memutar kaset Peterpan atau
Panbers. Edi datang dengan radio dan satu kaset favorit Sang Kakek. Ia
memasukkan kaset, lalu memencet tombol play. Cinta dan Permata-nya Panbers
terputar.
Sang
Kakek yang sudah mendengar iringin gitar, menggoyangkan kepalanya. Edi menenguk
teh kakeknya. Sang Kakek kembali menggeleng kecil.
Tempat
tinggal mereka cukup terpencil diantara rumah warga yang lain. Mereka memilih
membangun rumah berhadapan dengan laut. Alasannya agar rumah tidak terlalu sepi, mereka bisa setiap hari mendengar deburan ombak. Sang Kakek memanggil Edi yang tengah
memandang laut. Edi menengok, lalu bergegas.
“Di,
Kakek mau cerita..”
Dari
kecil, Edi selalu menjadi pendengar yang baik untuk Sang Kakek. Kecuali tentang
orang tuanya. Sang Kakek juga sangat piawai dalam membawa cerita. Kebanyakan
cerita legenda, ada juga yang ia karang sendiri. Mereka hidup sederhana, Sang
Kakek tidak bisa membelikan Edi mainan seperti anak yang lain. Jadi, sang Kakek
selalu memberi cerita kepada Edi. Dan Edi selalu mendengarkan dengan baik,
walaupun cerita itu sudah pernah ia dengar.
Sang Kakek memiringkan kepala, mencari dalam perpustakaan kepalanya cerita mana lagi yang mau dia ceritakan. Edi menunggu dengan tenang. Suasana masih tampak hening, Ssaang Kakek masih berpikir. Hening yang panjang didominasi oleh deburan ombak menyapu sisir pantai. Edi sudah mulai bosan, mukanya agak lemas, Sang Kakek masih berpikir keras.
Baru saja Edi hendak pergi, Sang Kakek lalu terbesit.
“Aha..”
“Apa
Kek?” antusias Edi.
“Kakek
mau cerita soal penyu,” jelasnya,
“Penyu?”
Sang kakek mengangguk,”Judulnya,
Selon.”
~^~
"Kalis, coba kau bantu Mama dulu ini.." teriak seorang perempuan yang sedang mencuci.
"Ah, Mama, pekerjaan perempuan itu.." protes Kalis.
Ibu melanjutkan mencuci sementara Kalis masih berbaring diatas pos ronda samping rumah. Biasanya, ia menunggu teman untuk bermain, tapi sampai saat ini juga belum satupun ada yang datang. Kalis menikmati udara pagi, memandangi pohon kelapa yang menjulang tinggi dan melengkung. Ia melihat Mamanya, sedang mengucek baju dengan sekuat tenaga.
Angin lumayan bagus, matahari juga mendukung. Diperkirakan, cucian hari ini akan cepat untuk diangkat. Sementara Kalis bersantai, para warga memulai pekerjaan masing-masing. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai tukang kopra, tukang kebun, dan yang paling pasti adalah nelayan. Ikan dari laut adalah nafas buat mereka. Ikan yang orang kota makan sebagai makanan mewah, adalah makanan biasa bagi mereka. Tak jarang para anak menolak ikan karena sudah terlalu bosan.
Selain ikan, adalah ubi sebagai cemilan khas mereka. Ubi yang mereka tanam, masih susah untuk dijual. Dikirim dikota, belum ada menu olahan. Mau dijual dikampung, semua orang punya kebun. Jadilah, mereka hanya menanam untuk diri mereka sendiri.
Kalis berdiri, melihat matahari belum terlalu naik, mengingat temannya belum juga datang, ia menghampiri Mamanya. Kalis duduk disampingnya, lalu mengambil baju dan mengucek.
~^~
"Jadi, penyu ini namanya Selon, sang penjaga laut. Tubuhnya besar, cangkangnya berbeda dengan penyu sekarang, meski begitu, Selon ini baik."
"Kata siapa, Kek?"
"Kata Kakeknya Kakek, dia juga dulu selalu cerita sama Kakek. Cerita-cerita yang kamu dengar ini, kebanyakan dari dia semua,"Jelasnya.
Edi mendengar dengan saksama. Sang Kakek melanjutkan cerita.
"Nah, sampai mana tadi.."
"Selon baik, Kek.."
"Oke, Selon ini tinggal dibawah laut lapis ketujuh. Ia sudah jadi mitos, sekaligus fakta. Beberapa orang percaya adanya dia, beberapa tidak. Bahkan, orang sampai rela ke tengah laut untuk menyelam demi melihat Selon. Hasilnya nihil. Selon tidak akan keluar."
Sang Kakek mematikan radio yang sudah ia kecilkan.
"Konon, orang-orang yang melihat Selon, akan diambil. Dibawa ke bawah laut lapis ketujuh."
"Hah? Mati kek?" respon Edi.
"Belum jelas, kata Kakeknya Kakek, mereka dibawa untuk melihat-lihat. Tapi terlambat untuk kembali. Jadi mereka kekal disana. Menjadi bagian dari dunia bawah laut."
Sang Kakek sudah mulai serak, ia meneguk teh untuk menghabiskannya.
"Kek, dunia bawah laut seperti apa?" tanya Edi, polos.
"Bawah laut itu seperti yang terlihat biasanya, ikan, hewan-hewan laut, terumbu karang. Namun dibalik itu, ada rahasia yang lebih luas dari itu, lebih dalam dari itu. Laut itu semacam dunia kedua yang Tuhan ciptakan," jelas Sang Kakek.
"Caranya kesana, Kek," tanya Edi, lagi.
"Bertemu Selon."
~^~
Matahari mulai naik, memancarkan sinar pagi. Kalis menganggkat baskom berisi pakaian siap jemur. Di perasnya satu persatu pakaian, lalu dijemur pada tali jemuran sepanjang dua meter. Pakaian dalam seperti singlet dan celana dalam, ia kaitkan ke paku-paku pada tiang jemuran. Setelah selesai, ia menyimpan baskom dan bergegas pergi mencari Mamanya.
Kalis menelusuri rumah, memanggil dari pertengahan rumah agar seiisi rumah mendengarnya. Tidak ada jawaban. Kebetulan, rumah itu ditinggali cuma mereka berdua, Kalis dan Mamanya. Bapaknya sudah meninggal ketika pergi mencari ikan dilaut. Tidak ada jasad ditemukan. Namun perkiraan warga, jasadnya telah habis dimakan laut.
Setelah tidak menemukan apa-apa, Kalis keluar dari pintu depan, menemukan Mamanya baru saja pulang dari belanja beras dan gula. Ia lalu pamit untuk bermain, Mamanya memesan untuk ingat waktu pulang.
"Percuma, kalau kau tidak bisa balik juga, apa gunanya." jelas Sang Kakek
Setelah mendapatkan udang, Edi dan Kalis berlari menuju rumah Edi. Lari mereka cukup gesit, mengitari desa yang luas serta hutan yang masih lebat. Lama tinggal disitu membuat mereka sudah hapal jalan tikus didesa ini. Kalis bergegas ke perahu, dan mengambil dayung untuk dibawa. Edi masuk kerumah mengambil pancingan yang ia gulung pada botol minuman. Pancingannya sederhana, cuma tasi yang diikatkan pemberat serta kail diujung tasi pancingan. Mereka tinggal menaruh umpan dikail, lalu melempar ke laut.
Semua telah siap, mereka mendorong perahu menjauh dari pasir, membuat perahu bekerja selayaknya. Setelah seluruh alas perahu terapung, mereka naik satu persatu. Lalu mulai mendayung. Tugas mendayung dilakukan oleh Edi, Kalis bertugas menimba air agar tak memenuhi perahu.
Tiga puluh meter menjauhi daratan, mereka masih melihat dasar laut. Pagi ini laut surut, sehingga mereka harus bekerja keras untuk mencari tempat yang dalam. Perahu bergerak maju meninggalkan daratan. Mereka mencoba untuk mencari hasil yang memuaskan ditempat yang dalam. Setelah daratan sudah hampir tak terlihat, air laur sudah mulai terlihat gelap. Artinya, dasar sudah bisa dikatakan dalam dari bukti mereka tak melihatnya. Alat pancingan dikeluarkan, mangkuk besar yang dibawa Edi diisi air untuk mencuci tangan. Edi memberi pancingannya kepada Kalis, dan ia memakai punya Sang Kakek, menjaga agar jika rusak akan menjadi tanggung jawabnya.
Dengan cutter tanpa pegangan, mereka membelah udang kecil menjadi dua bagian. Lalu memasang udang pada kail, dan umpan siap dilemparkan. Umpan Kalis lebih dulu siap, ia melemparkan umpan dengan menguraikan tasi sekiranya lima meter. Disusul Edi, yang melemparkan cukup disamping perahu. Tidak perlu menunggu lama, pancing Kalis disambar pelan, karena terlambat menarik umpannya habis dan ikan berhasil lari.
Kalis mencoba lemparan kedua, kali ini ia menggulung tasi untuk mencoba posisi yang lebih dekat. Tasi Edi bergoyang, ia menarik dengan gerakan sigap. Ikan sudah terpancing, namun Edi masih berduel menaikkan ikan diperahu. Untuk ukuran pemula, Edi cukup mahir menarik pancing, mungkin ajaran Sang Kakek. Saat ikan mulai terlihat, entah karena pantulan sinar matahari, ikan yang terpancing terlihat bersinar. Ikannya kecil, agak bulat, dan bersinar layaknya sudah memakan lampu. Merasa telah memancing ikan langka, Edi menaruhnya dimangkuk tempat cuci tangan agar ikannya bisa hidup. Walaupun mulut ikan sudah robek terkena kail, ikan masih bergerak lincah.
Edi mengisi umpan kembali sementara Kalis menarik umpannya yang lagi-lagi habis tanpa ikan. Edi tersenyum angkuh ketika mendapat sambaran kedua, Kalis hanya memasang umpan dengan harapan bisa mendapatkan refleks yang kuat. Edi berhasil menaikkan ikan cakalang ukuran sedang, ia menaruhnya di perahu, membuat ikan itu melompat-lompat.
Setelah sekian lama, akhirnya umpan Kalis tersambar. Karena sudah beberapa kali gagal, ia berhasil memperbaiki kesalahan. Ia menarik umpan disaat yang tepat, ketika ikan mulai memakan umpan. Kalis menarik dengan muka penuh harapan, saat sudah berhasil menaikkan. Yang ada diumpannya hanyalah kantong kresek. Edi tertawa kecil dibelakang, sementara Kalis membuang kantong dan memasang umpan kembali. Saat memotong udang, Kalis melihat ikan pertama yang Edi dapat. Ikan itu membesar, hampir empat kali badan awalnya.
"Di, coba kau liat ikanmu ini?"
Edi berbalik,"Kenapa dia, bagus,.." Edi kaget.
Beberapa saat mereka memandang ikan itu, semakin membesar dan cahaya semakin redup. Kalis ingin membuangnya kembali, namun Edi menahan. Awalnya mereka berpikir bahwa itu adalah ikan buntal. Tapi semakin lama, perubahan badannya terus bertambah, bukan mengembang. Dan sudah hampir memenuhi baskom. Mereka masih memancing, sambil memperhatikan pergerakan ikan. Lama-lama, baskom pecah, ikan itu mengamuk karena tidak mendapatkan air. Edi dan Kalis panik.
"Coba ko buang tadi." Kalis memaki Edi dengan panik.
Edi menatap Kalis dengan tatapan penuh maaf,"Bagaimana ini?"
"Buang kembali." kata Kalis.
Mereka menganggkat ikan itu, namun beratnya minta ampun. Semakin mereka menganggkat, ikan semakin mengamuk, perahu bergoyang hebat, lalu ikan tumbuh dengan tidak wajar. Ikan mulai memenuhi seisi perahu, sehingga perahu hendak tenggelam.
"
"Kamu lompat, aku lompat. Ingat?" kata Kalis.
"Oke, eh, itu kata darimana pernah dengar, Lis." tanya Edi ditengah kepanikan.
"Dialognya Jaka di Titanic, waktu kita nonton layar tancap dipasar malam."
"Jack," Edi membenarkan.
"Iya, itu.."
Ikan semakin membesar, perahu beberapa detik lagi akan tenggelam. Karena mereka anak yang besar di daerah pantai, bakat berenang sudah ada sejak lahir. Namun untuk sampai kedasar, rasanya mustahil jika berenang.
"Kamu lompat, aku lom.."
Edi menendang Kalis, lalu ikut melompat sebelum perahu hancur karena ikan semakin membesar. Diluar dugaan mereka, air laut pagi itu terasa mencekam. Mereka yang sudah mempunyai kemampuan berenang tidak bisa menggunakannya. Mereka hanya terlihat mencoba untuk tidak tenggelam. Kaki yang panik karena tidak menyentuh dasar, tangan yang terus bergerak agar tidak tenggelam. Diantara usaha-usaha untuk tidak tenggelam, mereka mencoba untuk tetap bersama. Kalau-kalau ada sesuatu, mereka akan tetap bersama.
"Lis," kata Edi berusaha agar suaranya terdengar.
Kalis berbalik, seakan menjawab.
"Kita bakal.. ma.. ti." Edi tergagap-gagap oleh air asin yang masuk kedalam mulutnya.
Kalis mulai gelisah. Mencoba untuk tenang, ia perlahan tenggelam.
"Lis, jangan nyerah dulu." kata Edi memegang tangan Kalis,"Siapa tau ada.. AAA!!"
Dari bawah laut, Edi tersedot. Edi merasa ada yang menarik, tapi tidak ada yang ia rasakan. Sebelum sepenuhnya tenggelam, ia memeluk erat Kalis. Kalis mencoba melepas, namun kepanikan Edi membuahkan tenaga yang cukup besar.
"Lepas, Di, Lepas.. AAA"
Mereka tenggelam, masuk kedalam air hingga menyentuh dasar laut. Awalnya semua terlihat gelap, pekat. Lama kelamaan, semua terlihat seperti air yang sangat jernih, bahkan seperti tanpa air. Edi dan Kalis heran karena bisa berjalan diair tanpa terapung. Bisa bernapas dilaut tanpa udara. Lalu yang mereka herankan lagi, mereka bisa mengobrol selayaknya sedang didaratan.
Edi memberi kode kepada Kalis tentang apa yang baru saja terjadi. Kalis hanya bersikap dingin, antara tidak tahu apa-apa bercampur rasa takut yang amat sangat. Mereka yang seharusnya bisa bicara, tidak bisa berkata apa-apa.
Hewan dasar laut melewati mereka tanpa menyadari keberadaan mereka. Hiu putih, hiu banteng, sampai ikan besar yang tidak tau berbentuk apa. Mereka saling bersama dan mencoba tidak membuat gerakan tiba-tiba. Dari arah barat mereka, sesuatu, muncul bayangan gelap. mendekat secara perlahan dan membuat bayangan raksasa. Dari gerak-geriknya, makhluk yang mendekat itu bukanlah predator. Mereka mencoba untuk tetap tenang walaupun sudah ketakutan.
Bayangan itu terus bergerak maju, lalu membentuk sesuatu yang nyata. Edi mengalami dejavu. Ia mengingat jelas gambaran Sang Kakek tentang penyu raksasa penjaga laut. Pada saat semua terlihat jelas, seekor penyu raksasa terpampang dihadapan mereka.
"Selon," kata Edi.
"Selon?" tanya Kalis, bingung. ecara perlahan dan membuat bayangan raksasa. Dari gerak-geriknya, makhluk yang mendekat itu bukanlah predator. Mereka mencoba untuk tetap tenang walaupun sudah ketakutan.
Bayangan raksasa itu mulai terbentuk. Mulai jelas terlihat, dan Edi sudah menimbang-nimbang, hewan apakah yang akan muncul. Kalis berpegang erat dilengan Edi, sementara Edi berusaha terlihat tenang karena telah dipercaya untuk tidak takut. Bayangan mulai mendekat, membentuk penyu raksasa. Ukurannya sangat besar, tingginya bisa mencapai dua puluh meter lebih. Edi sekejap ingat dengan cerita sang Kakek tentang penyu raksasa bernama Selon.
"Selon?" kata Adi, tanpa mengarah kepada siapapun.
"Selon? Kamu kenal hewan raksasa ini?" Kalis menanggap
"Ada emas lho, berlian."
"Emang
Edi menganggu
Setelah berdiskusi mereka akhirnya sepakat untuk ikut
Kalis menelusuri rumah, memanggil dari pertengahan rumah agar seiisi rumah mendengarnya. Tidak ada jawaban. Kebetulan, rumah itu ditinggali cuma mereka berdua, Kalis dan Mamanya. Bapaknya sudah meninggal ketika pergi mencari ikan dilaut. Tidak ada jasad ditemukan. Namun perkiraan warga, jasadnya telah habis dimakan laut.
Setelah tidak menemukan apa-apa, Kalis keluar dari pintu depan, menemukan Mamanya baru saja pulang dari belanja beras dan gula. Ia lalu pamit untuk bermain, Mamanya memesan untuk ingat waktu pulang.
~^~
"Kek, bagaimana kalo kita cari Selon lalu,"
"Jangan," Potong Sang Kakek."Tidak ada yang selamat untuk kembali."
"Tapi Kek, kita bisa minta emas, permata, kita kaya Kek. Kita bisa ke kota, lalu tinggal disana."
"Percuma, kalau kau tidak bisa balik juga, apa gunanya." jelas Sang Kakek
Sebelum hendak bertanya, seorang anak laki-laki seumur Edi muncul. Menyapa sang Kakek dan Edi.
"Kalis," Kata Edi,"Ohiya, maaf, ayo kita main."
Kalis memberi isyarat untuk duduk sejenak. Perjalanan dari rumah Kalis ke rumah Edi lumayan jauh. Kalis memilih untuk beristirahat dulu. Edi mengganti pakaian, dan menyimpan sarung yang masih tergantung dilehernya.
Sambil beristirahat, mereka mulai merencanakan untuk bermain apa. Teman-teman yang lain tidak bisa ikut main. Beberapa ada yang membantu orang tuanya jualan, ikut ke kota, sampai bekerja untuk uang saku tambahan di pasar ikan. Cuma mereka berdua yang hanya asik main. Beberapa anak seusia mereka, sudah dikekang oleh orang tua mereka atau sudah berpikiran lebih dewasa dari yang seharusnya.
Beberapa opsi pilihan tidak diambil karena kekurangan pemain. Jadi, opsi yang ada hanyalah memancing atau memanjat kelapa. Karena sudah terlalu bosan memanjat dan makan kelapa, mereka memilih untuk memancing. Hasilnya mungkin akan mereka jual. Jadi, walaupun bermain, mereka juga bisa seperti yang lain.
Edi dan Kalis pergi ke halaman belakang menemui Sang Kakek. Dengan muka memelas, Edi meminjam perahu milik Sang Kakek. Awalnya Sang Kakek bersikeras tidak mau meminjamkan. Namun, Sang Kakek kalah dengan rasa iba pada si cucu. Sang Kakek akhirnya meminjamkan, lalu memberi peraturan untuk menjaga perahu dan tidak bermain jauh. Edi mengiyakan dengan anggukan, meski kurang yakin tidak melanggar.
Perahu yang bersandar dibelakang rumah, ditarik oleh Edi dan Kalis ke pinggir pantai. Mereka berlari ke pasar ikan, meminta beberapa udang dari temannya yang menjual.
"Sapri," panggil Kalis.
"Kenapa Lis?" tanya Sapri, teman Edi dan Kalis.
"Minta dulu udang, kita mau pake mancing ini."
"Aduh, mahal udang ini," jelas Sapri,"Susah lagi laku."
"Perhitungan sekali jadi teman,"
Sapri melihat Mamanya sedang melayani orang. Edi dan Kalis mulai menjelaskan.
"Begini saja, kalo kita dapat hasil, nanti sa kasih juga kau, bagaimana." lanjut Kalis merayu.
Sapri berpikir sejenak.
"Banyak duit lagi kau dapat ikan." Kalis mengacungkan jempol/
Edi membantu dengan muka meminta segera.
Sapri akhirnya pasrah, mengambil kantong kresek hitam. Ia memegang udang ditangan, lalu memasukkan kedalam kantong kresek. Sapri memberi mereka udang itu, dan memberi isyarat untuk pergi secepatnya agar tidak ketahuan Mamanya.
Setelah mendapatkan udang, Edi dan Kalis berlari menuju rumah Edi. Lari mereka cukup gesit, mengitari desa yang luas serta hutan yang masih lebat. Lama tinggal disitu membuat mereka sudah hapal jalan tikus didesa ini. Kalis bergegas ke perahu, dan mengambil dayung untuk dibawa. Edi masuk kerumah mengambil pancingan yang ia gulung pada botol minuman. Pancingannya sederhana, cuma tasi yang diikatkan pemberat serta kail diujung tasi pancingan. Mereka tinggal menaruh umpan dikail, lalu melempar ke laut.
Semua telah siap, mereka mendorong perahu menjauh dari pasir, membuat perahu bekerja selayaknya. Setelah seluruh alas perahu terapung, mereka naik satu persatu. Lalu mulai mendayung. Tugas mendayung dilakukan oleh Edi, Kalis bertugas menimba air agar tak memenuhi perahu.
Tiga puluh meter menjauhi daratan, mereka masih melihat dasar laut. Pagi ini laut surut, sehingga mereka harus bekerja keras untuk mencari tempat yang dalam. Perahu bergerak maju meninggalkan daratan. Mereka mencoba untuk mencari hasil yang memuaskan ditempat yang dalam. Setelah daratan sudah hampir tak terlihat, air laur sudah mulai terlihat gelap. Artinya, dasar sudah bisa dikatakan dalam dari bukti mereka tak melihatnya. Alat pancingan dikeluarkan, mangkuk besar yang dibawa Edi diisi air untuk mencuci tangan. Edi memberi pancingannya kepada Kalis, dan ia memakai punya Sang Kakek, menjaga agar jika rusak akan menjadi tanggung jawabnya.
Dengan cutter tanpa pegangan, mereka membelah udang kecil menjadi dua bagian. Lalu memasang udang pada kail, dan umpan siap dilemparkan. Umpan Kalis lebih dulu siap, ia melemparkan umpan dengan menguraikan tasi sekiranya lima meter. Disusul Edi, yang melemparkan cukup disamping perahu. Tidak perlu menunggu lama, pancing Kalis disambar pelan, karena terlambat menarik umpannya habis dan ikan berhasil lari.
Kalis mencoba lemparan kedua, kali ini ia menggulung tasi untuk mencoba posisi yang lebih dekat. Tasi Edi bergoyang, ia menarik dengan gerakan sigap. Ikan sudah terpancing, namun Edi masih berduel menaikkan ikan diperahu. Untuk ukuran pemula, Edi cukup mahir menarik pancing, mungkin ajaran Sang Kakek. Saat ikan mulai terlihat, entah karena pantulan sinar matahari, ikan yang terpancing terlihat bersinar. Ikannya kecil, agak bulat, dan bersinar layaknya sudah memakan lampu. Merasa telah memancing ikan langka, Edi menaruhnya dimangkuk tempat cuci tangan agar ikannya bisa hidup. Walaupun mulut ikan sudah robek terkena kail, ikan masih bergerak lincah.
Edi mengisi umpan kembali sementara Kalis menarik umpannya yang lagi-lagi habis tanpa ikan. Edi tersenyum angkuh ketika mendapat sambaran kedua, Kalis hanya memasang umpan dengan harapan bisa mendapatkan refleks yang kuat. Edi berhasil menaikkan ikan cakalang ukuran sedang, ia menaruhnya di perahu, membuat ikan itu melompat-lompat.
Setelah sekian lama, akhirnya umpan Kalis tersambar. Karena sudah beberapa kali gagal, ia berhasil memperbaiki kesalahan. Ia menarik umpan disaat yang tepat, ketika ikan mulai memakan umpan. Kalis menarik dengan muka penuh harapan, saat sudah berhasil menaikkan. Yang ada diumpannya hanyalah kantong kresek. Edi tertawa kecil dibelakang, sementara Kalis membuang kantong dan memasang umpan kembali. Saat memotong udang, Kalis melihat ikan pertama yang Edi dapat. Ikan itu membesar, hampir empat kali badan awalnya.
"Di, coba kau liat ikanmu ini?"
Edi berbalik,"Kenapa dia, bagus,.." Edi kaget.
Beberapa saat mereka memandang ikan itu, semakin membesar dan cahaya semakin redup. Kalis ingin membuangnya kembali, namun Edi menahan. Awalnya mereka berpikir bahwa itu adalah ikan buntal. Tapi semakin lama, perubahan badannya terus bertambah, bukan mengembang. Dan sudah hampir memenuhi baskom. Mereka masih memancing, sambil memperhatikan pergerakan ikan. Lama-lama, baskom pecah, ikan itu mengamuk karena tidak mendapatkan air. Edi dan Kalis panik.
"Coba ko buang tadi." Kalis memaki Edi dengan panik.
Edi menatap Kalis dengan tatapan penuh maaf,"Bagaimana ini?"
"Buang kembali." kata Kalis.
Mereka menganggkat ikan itu, namun beratnya minta ampun. Semakin mereka menganggkat, ikan semakin mengamuk, perahu bergoyang hebat, lalu ikan tumbuh dengan tidak wajar. Ikan mulai memenuhi seisi perahu, sehingga perahu hendak tenggelam.
"
"Kamu lompat, aku lompat. Ingat?" kata Kalis.
"Oke, eh, itu kata darimana pernah dengar, Lis." tanya Edi ditengah kepanikan.
"Dialognya Jaka di Titanic, waktu kita nonton layar tancap dipasar malam."
"Jack," Edi membenarkan.
"Iya, itu.."
Ikan semakin membesar, perahu beberapa detik lagi akan tenggelam. Karena mereka anak yang besar di daerah pantai, bakat berenang sudah ada sejak lahir. Namun untuk sampai kedasar, rasanya mustahil jika berenang.
"Kamu lompat, aku lom.."
Edi menendang Kalis, lalu ikut melompat sebelum perahu hancur karena ikan semakin membesar. Diluar dugaan mereka, air laut pagi itu terasa mencekam. Mereka yang sudah mempunyai kemampuan berenang tidak bisa menggunakannya. Mereka hanya terlihat mencoba untuk tidak tenggelam. Kaki yang panik karena tidak menyentuh dasar, tangan yang terus bergerak agar tidak tenggelam. Diantara usaha-usaha untuk tidak tenggelam, mereka mencoba untuk tetap bersama. Kalau-kalau ada sesuatu, mereka akan tetap bersama.
"Lis," kata Edi berusaha agar suaranya terdengar.
Kalis berbalik, seakan menjawab.
"Kita bakal.. ma.. ti." Edi tergagap-gagap oleh air asin yang masuk kedalam mulutnya.
Kalis mulai gelisah. Mencoba untuk tenang, ia perlahan tenggelam.
"Lis, jangan nyerah dulu." kata Edi memegang tangan Kalis,"Siapa tau ada.. AAA!!"
Dari bawah laut, Edi tersedot. Edi merasa ada yang menarik, tapi tidak ada yang ia rasakan. Sebelum sepenuhnya tenggelam, ia memeluk erat Kalis. Kalis mencoba melepas, namun kepanikan Edi membuahkan tenaga yang cukup besar.
"Lepas, Di, Lepas.. AAA"
Mereka tenggelam, masuk kedalam air hingga menyentuh dasar laut. Awalnya semua terlihat gelap, pekat. Lama kelamaan, semua terlihat seperti air yang sangat jernih, bahkan seperti tanpa air. Edi dan Kalis heran karena bisa berjalan diair tanpa terapung. Bisa bernapas dilaut tanpa udara. Lalu yang mereka herankan lagi, mereka bisa mengobrol selayaknya sedang didaratan.
Edi memberi kode kepada Kalis tentang apa yang baru saja terjadi. Kalis hanya bersikap dingin, antara tidak tahu apa-apa bercampur rasa takut yang amat sangat. Mereka yang seharusnya bisa bicara, tidak bisa berkata apa-apa.
Hewan dasar laut melewati mereka tanpa menyadari keberadaan mereka. Hiu putih, hiu banteng, sampai ikan besar yang tidak tau berbentuk apa. Mereka saling bersama dan mencoba tidak membuat gerakan tiba-tiba. Dari arah barat mereka, sesuatu, muncul bayangan gelap. mendekat secara perlahan dan membuat bayangan raksasa. Dari gerak-geriknya, makhluk yang mendekat itu bukanlah predator. Mereka mencoba untuk tetap tenang walaupun sudah ketakutan.
Bayangan itu terus bergerak maju, lalu membentuk sesuatu yang nyata. Edi mengalami dejavu. Ia mengingat jelas gambaran Sang Kakek tentang penyu raksasa penjaga laut. Pada saat semua terlihat jelas, seekor penyu raksasa terpampang dihadapan mereka.
"Selon," kata Edi.
"Selon?" tanya Kalis, bingung. ecara perlahan dan membuat bayangan raksasa. Dari gerak-geriknya, makhluk yang mendekat itu bukanlah predator. Mereka mencoba untuk tetap tenang walaupun sudah ketakutan.
Bayangan raksasa itu mulai terbentuk. Mulai jelas terlihat, dan Edi sudah menimbang-nimbang, hewan apakah yang akan muncul. Kalis berpegang erat dilengan Edi, sementara Edi berusaha terlihat tenang karena telah dipercaya untuk tidak takut. Bayangan mulai mendekat, membentuk penyu raksasa. Ukurannya sangat besar, tingginya bisa mencapai dua puluh meter lebih. Edi sekejap ingat dengan cerita sang Kakek tentang penyu raksasa bernama Selon.
"Selon?" kata Adi, tanpa mengarah kepada siapapun.
"Selon? Kamu kenal hewan raksasa ini?" Kalis menanggap
"Ada emas lho, berlian."
"Emang
Edi menganggu
Setelah berdiskusi mereka akhirnya sepakat untuk ikut
Selon
memasang kaki depannya sebagai alat mereka untuk naik, setelah naik, Selon
mengibaskan kaki depannya sehingga mereka terbang menuju canggkang. Edi sudah
mendapat gambaran tentang cerita Sang Kakek. Cangkang Selon sangat berbeda
dengan cangkang penyu pada umumnya. Pada tengah cangkang, terdapat semacam
sirip. Edi dan Kalis berdiri sambil memegang cangkang Selon.
“Pegang
kuat.” Kata Selon.
“Dia bilang
pegang kuat?” tanya Kalis.
Selon melaju
kencang, Edi dan Kalis memegang dengan erat. Awalnya mereka hanya terbawa
kebagian depan. Terus maju, hingga pada suatu tempat, ada sebuah lobang hitam.
Selon menerobos masuk. Lubang itu menghubungkan antara beberapa lapisan. Edi
kembali ingat tentang cerita Sang Kakek. Entah, lapis keberapa mereka akan
berhenti, Edi hanya mengamati sementara Kalis berteriak histeris.
“AAAAA!!!”
Semua lalu
tenang, ketika Selon tiba-tiba berhenti. Mereka terjatuh dari pegangan dan
tersungkur pada cangkang. Mereka berdiri, melihat pemandangan yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Sebuah dunia yang penuh dengan warna didalamnya.
Hewan-hewan laut yang menyerupai bentuk aslinya namun dengan warna yang
mencolok. Terumbu karang menyala-nyala bagaikan neon, rumput laut berkedip.
Menjadikan dunia yang mereka lihat seperti pasar malam.
Mereka
menuruni cangkang dengan lengan kiri Selon. Edi dan Kalis terperangah dengan
sesuatu yang mereka liat sekarang. Dunia tanpa kesedihan. Dalam lamunan dan
khayalan, mereka tidak sadar Selon telah pergi. Ketika mereka mengetahui Selon
sudah tidak ada, akhirnya mereka memutuskan untuk mengitari tempat tersebut.
Perjalanan
begitu membingungkan mengingat tidak ada jalan pasti dan semua terlihat begitu menarik.
Mereka berjalan dengan insting masing-masing. Sekali-kali mereka berdiskusi
tentang pengambilan jalan kanan atau kiri. Namun lagi-lagi Edi mengingat
perkataan Sang Kakek, kemanapun kau pergi selalu ambil jalan kanan, meskipun
kau tahu itu jurang. Ini bukan serial Dora, mereka tidak mungkin menanyakan
jalan kepada penonton lalu berseru “Hip-hip hore twididit” setelah berhasil
sampai. Insting dan keberuntungan adalah bekal mereka saat itu.
Dari arah
kanan terumbu karang, terdengar bunyi mencurigakan. Awalnya mereka pikir itu
itu Cuma khayalan belaka. Namun bunyi itu terus terdengar, sampai akhir mereka
berlari.
“Lis, dengar
aba-abaku sebelum lari.”
Terdengar
bunyi semak-semak semakin nyaring. Tidak butuh aba-aba untuk Kalis memutuskan
lari duluan. Edi menyusul dari belakang, dan menarik lengan Kalis untuk
berhenti.
Mereka
menoleh kebelakang, tidak ada siapa-siapa. Hanya jalan kosong yang penuh dengan
warna. Mereka menoleh kedepan, dan berdiri sosok lelaki dengan senyuman berkawan.
“Hai.” Sapa
lelaki misterius itu.
Edi dan
Kalis saling menatap, lalu memberi kode untuk mengucapkan sapa.”Haeee..”
“Oh ya,”
Lelaki itu memberi tangan,”Ical. Namaku.”
Edi membalas
tangan Ical,”Edi.” Lalu diikuti dengan Kalis.
Mereka
akhirnya menjadi teman, sekaligus Ical menjadi tour gate untuk Edi dan Kalis. Ical menjelaskan asal muasal dia.
Dia bercerita bahwa seminggu yang lalu dia juga manusia seperti Edi dan Kalis.
Pada suatu hari, ia sedang berlibur dengan ayah dan ibunya. Ayahnya mengajak
Ical untuk berenang menggunakan ban pelampung. Ibunya memotret dari bibir
pantai. Pada waktu makan siang, mereka naik untuk makan. Ical memilih untuk
selesai duluan dan berenang kembali. Orang tuanya memberi ijin, asal tidak
bermain jauh. Ical terlalu kecil untuk tahu bahwa itu larangan, terlalu ingin
tahu untuk tidak melanggar. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, ia berenang jauh.
Ia tidak tahu kalau sudah sejauh itu, karena ia memamkai ban pelampung. Bannya
bergerak memutar, dan sadar bahwa sudah terlampau jauh. Baru hendak memutar,
ada yang menarik kakinya dari dasar laut. Berteriak adalah hal yang sia-sia.
Ayah ibunya sedang asik ngobrol. Sampai saat itulah, Ical terdampar disini,
menjadi bagian dari dunia ini.
Edi
mendengarkan Ical bercerita layaknya ia mendengarkan Kakeknya. Kalis
mendengarkan Ical dengan perasaan was-was. Ketakutan kembali menghantui Kalis.
“Kenapa kamu
tidak kembali?” tanya Edi saat Ical memberi jeda.
“Terlambat.
Jika seseorang yang berada disini lebih dari enam jam, ia akan jadi bagian dari
bawah laut.” Jelas Ical.
“Siapa yang
memberi tahumu?” Kalis meminta jawaban dengan cepat.
“Selon.”
~^~
Terhitung
dari awal mereka tiba sampai sekarang sudah dua jam lebih. Edi masih dengan
sikap tenangnya, Kalis dengan sikap was-wasnya. Edi bertanya dimanakah Selon
sekarang, Ical menjawab Selon sedang tidur siang. Paling bangunnya sekitar dua
jam lagi dari sekarang. Edi masih tenang mengingat masih ada waktu sebelum
Selon bangun. Ical mengantar mereka melihat-lihat. Kalis ditiap lima menit
perjalanan, selalu mengajak Edi untuk kembali. Ical berusaha untuk menenangkan
mereka. Ical membawa mereka kesebuah taman. Taman yang menghempas luas. Berbeda
dengan yang mereka liat sebelumnya, taman yang mereka liat sekarang gelap,
tidak ada tanda kehidupan sebelum mereka memasuki.
Setelah
mereka menginjakkan kaki, semua berubah. Yang tadinya gelap berubah menjadi
putih, tentram. Mereka berjalan-jalan ke sebuah museum, tempat koleksi
tengkorak dari hewan-hewan purba. Tempatnya lumayan besar, namun Ical
menyediakan singa laut sebagai transportasi mereka. Sejam lebih mereka
menikmati wisata yang dipandu oleh Ical dan mereka hampir lupa untuk pulang.
Kalis yang parno langsung mengingatkan mereka untuk kembali. Ical menawarkan
untuk makan terlebih dahulu. Ical menyediakan makanan mewah. Ical mengatakan
itu adalah pemberian dewa laut.
Ical memberi
sedikit bisikan bahwa jangan berurusan dengan Selon. Selon adalah penyu yang
menculiknya, dan ia juga yang melarangnya untuk kembali. Edi dan Kalis
kebingungan, mereka yang awalnya memihak Selon, seketika menjadi netral, lalu
sedikit demi sedikit memihak kepada Ical. Kalis bertanya, jika mereka ingin
pulang harus kemana. Ical memberi tahu, yang dapat membawa mereka pulang
hanyalah dewa laut. Edi dan Kalis akhirnya minta untuk dibawa kepada dewa laut,
Ical awalnya ragu. Namun Kalis sudah ketakutan minta pulang, ingin bertemu
Mamanya.
Ical
menuntun mereka kesebuah gedung besar, Mereka masuk melewati lorong-lorong yang
gelap dan sempit. Pembelokan ketiga penaikan, Edi mendengar suara teriakan dari
arah lorong belakang. Sementara Ical menuntun mereka. Edi diam-diam bergerak
mengelabui Ical, lalu didorong rasa penasaran, Edi mengikuti suara teriakan.
Edi bingung karena teriakan memantul-mantul, ia mencoba tenang, mencari tahu
arah sumber suara. Dari pendengarannya, ia kembali mengikuti instingnya, dan ia
tercengang ketika memasuki sebuah ruangan berisi orang-orang dengan penjara 2x2
per orang. Ia berjalan, orang-orang heboh menyambutnya. Mereka berteriak tidak
jelas, Edi berpikir itu adalah suara minta tolong. Lalu, pada susunan kedua, ia
melihat seorang perempuan. Ia mendekati, dan merasa familiar dengan wajahnya.
Ia mengingat dengan keras, ia tahu itu adalah orang tuanya.
Ia menyapa
orang tuanya, perempuan itu merespon dingin. Seakan tidak tahu siapa yang
sedang menyapanya. Lalu Edi mulai gelisah, bingung, dan sejenak tidak tau harus berbuat apa. Ia mengingat Kalis dan rumah. Ia
keluar mencari Kalis. Edi berlari dari lorong ke lorong, tidak
menemukan Kalis. Ia keluar dari gedung, mencoba mencari dimana Kalis dan Ical,
namun yang ia temukan hanyalah taman kosong yang hanya mempunyai beberapa
gedung. Ia berlari ke tempat awal mereka sampai, ia berdiri di depan
perbatasan, lalu sebuah bayangan besar masuk dan menarik ia keluar. Selon
mengambil Edi, menyuruh ia naik secepatny lalu melaju naik keatas, lubang hitam yang
lain.
Edi memberi
tahu temannya Kalis masih ketinggalan, Selon tidak menjawab, terus membawa Edi. Ia
lantas tahu, Kalis sudah terjebak, dan ia adalah orang yang selamat. Selon
tidak berbicara sedikitpun. Ia masih terus melaju, Edi berpegangan kuat. Sampai
pada puncak, Edi merasa tubuhnya melemah, ia lunglai. Cengkraman tangannya
hampir lepas, namun ia berusaha untuk tetap kuat. Sampai pada akhir puncak,
segalanya menjadi putih terang, tubuhnya lemah sekali.
Pada saat
yang lain, ia mendapati diri terbangun diatas pasir. Ia masih mencoba membuka
mata, namum sinar matahari begitu terik. Ia mendengar bunyi ombak, suara
orang-orang berkerumun. Ia membuka mata, orang-orang mengelilinnya. Ia bangun,
melihat pemandangan yang lain. Ia ingat tempat tinggalnya. Tempat ia tinggal
dulu, sudah berdiri villa. Orang-orang berbondong-bondong, datang untuk
berenang dan berwisata. Hutan yang dulunya lebat sudah menjadi tempat mobil
parkir dan jalan menuju kota. Ia heran, apakah ia melakukan sebuah perjalanan
waktu. Ia berjalan menuju villa, orang-orang melihatnya dengant tatapan aneh.
Ia memaksa dirinya berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Sebuah
memori terbesit, tentang Sang Kakek. Orang yang selalu ia dengar ceritanya
setiap hari. Lalu memori yang lain seperti teman-teman mainnya, terutama Kalis. Sebuah desa tempat ia tinggal, ia melihatnya kembali dari sisi yang lain. Ia melihat orang-orang
disekelilingnya terasa asing. Atau ialah yang menjadi asing.
Ini ceritanya bagus banget seru aja gitu dibacanya bikin deg2an. Kenapa ga nulis novel aja gitu. Atau malah udah nulis novel? Menurutku tulisanmu layak untuk diterbitkan 😂😂😂
ReplyDeleteMakasih lho mba, Muti. Mudah2an bisa nerbitin buku~
DeleteBaca cerita ini jadi teringat cerita-cerita yang biasa diceritakan bapakku. Agak mirip-mirip kejadiannya. Namun bukan soal penyu. Menarik sih. Paling menarik dibagian ending. Ketika ia merasa asing terhadap sekitar. Dunia di sekelilingnya sudah berubah.
ReplyDeleteBdw, ini cerita dari omku juga, dengan tambahan fiksi, jadilah Selon~
DeleteMenarik juga ya, serasa di dongening..he
ReplyDeleteAndai ada film kartunnya nih, seru pasti :D
Oh, jadi tahu semua ya, si ical selain tour guide, dia jg mnceritakan asal muasalnya. Serasa pernah ketemu orang macam ical gitu aku. Beberapa kali kalau gowes sendiri, selalu cari orang yang sedang duduk, ajak ngobrol dan nyambung, sering juga mereka menceritakan dirinya gitu.
Bagus sih, secara gk langsung meskipun baru bertemu, mereka udah percaya.
Awalnya bikin ini juga karena nonton film kartun dan pengen buat, namun liat diri sendiri cuma bisa apa.. daripada ngga buat apa-apa, jadilah Selon.
DeleteNaluri, lah~
wah cerita yang bagus. mengingatkanku pada penyu yang menyelamatkan ayahnya nemo. ada juga cerita barbie yang pake penyu gede macem selon. tapi aku lupa judulnya hehe
ReplyDeletebagus ide imajinasinya. dan rapi tulisannya. mending bikin berseri di watpadd biar banyak yang baca. siapa tahu dilirik sama penerbit. Lagi banyak penerbit yang nyari penulis di watpadd tuh hehe
Nemo-Dory is my mood.
DeleteBelum serapi itu melihat komen-komen yang ada.. :(
Rencananya begitu, namun dengan cerita yang lain~
Udah lama nggk baca dongeng macam gini, banyakan skarang liat sosmed doang hehe, tapi omong dapat nama selon tuh inspirasinya dari mana? Apa itu bahasa daerah tertentu?
ReplyDeleteWah pertanyaan menarik nih, nama Selon itu dari tipe penyu tertua, Archelon. Kalau ceritanya dari om sendiri, dan dibumbuin fiksi~
Deleteseperti biasa, kakek mendongengkan cucunya juga dari kakek, kakek dan kakeknya jaman dulu haha
ReplyDeleteceritanya keren mas, seorang bocah yang ikur dengan penyu raksasa dan penyunya bisa ngomong ahaha ini ngomong-ngomong jaman kapan kejadiannya mas.
Ngga terlalu intens ke tahun berapa sih, tapi coba terka lewat lagu2 yang saya hitz pada jaman itu~
DeleteHaduh, menjadi asing.. lupa ingatan? Tapi kan ingat kisah kakek? Eh.. atau terdampar di pulau seberang dan tidak kembali... kemudian? Ketemu ibu dan ayahnya.. mungkin selama ini ayah ibunya juga terdampar...
ReplyDeleteMaksudnya,.. aduh, sebagai penulis, saya merasa gagal. Ini maksudnya, beda waktu antara laut dan darat. Buat yang masih bingung, nih ya~
DeleteSetelah dialog ini "Ada emas lho, berlian.", kenapa ada bagian yang kayak hilang atau belum selesai ya, Hul?
ReplyDeleteSelon menurut saya kurang kerjaan sekaligus nggak bertanggung jawab, sih. Udah bawa orang ke dunia bawah, terus ada yang ditinggal gitu. Nah, yang jadi pertanyaan, kenapa Ical bisa berkeliaran bebas, tapi ada juga yang dipenjara (termasuk orang tua Edi)?
Hmm. Kisah akhir gantung begini kadang nyebelin buat pembaca, ya. Padahal sendirinya kalau nulis cerita juga sering gantung. Haha.
Oke, saya cek dulu, mz.
DeleteSaya merasa gagal menjadi pencerita. Seharusnha ada poin2 yg kalo diperhatikan jadi ngeh dengan segala pertanyaan diatas.
Menurutku itu ngga gantung sih, kalo.dilanjut jadi aneh malah~
Cara pandang orang kan beda-beda, terus lanjutkan dan berlatih ja bro. Lanjutkan! :)
DeleteCeritanya bagus banget sih menurutku, kayak diceritain legenda rakyat hahaha cuma agak kepanjangan kalo menurutku lebih baik sedang tapi berseri ceritanya juga bisa dilanjutkan sebenernya.
ReplyDeleteCatatan mungkin ada beberaoa typo dan kalimat yg berulang tapi tidak mengurangi esensi cerita. Overall mantapppp.
Lumayanlah baca baca, di lihat benar atau tidaknya cerita, yang penting di ambil pelajaran yang terkandung.
ReplyDeleteKLIK YUKKK DI BAWAH INI
Ton Nasa